TUAN PRESIDEN: DENGARLAH SUARA RAKYATMU

Oleh Samir Musa
Selasa, 2 September 2025 - 17.21
TUAN PRESIDEN: DENGARLAH SUARA RAKYATMU
TUAN PRESIDEN: DENGARLAH SUARA RAKYATMU

(Arrahmah.id) - Kecemburuan sosial yang memicu demonstrasi di Jakarta dan beberapa wilayah Indonesia pada akhir Agustus 2025 lalu menimbulkan kekhawatiran dan keprihatinan mendalam. Aksi yang awalnya bertujuan menyampaikan aspirasi dan menuntut keadilan berubah menjadi kekerasan, penjarahan, dan perusakan fasilitas publik.

Rakyat menumpahkan kemarahan dan kekecewaan kepada pemerintah yang dianggap tidak peduli dengan nasib mereka. Penjarahan rumah Menteri Keuangan yang tersohor sebagai “Ratu Pajak” karena kebijakan pajak yang dianggap memberatkan masyarakat—bahkan beberapa kepala daerah menaikkan pajak hingga 250 persen—menjadi salah satu fokus kemarahan rakyat.

Sebagai pembenaran atas penarikan pajak yang ugal-ugalan, sang menteri bahkan membuat narasi dengan menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf. Ia menyitir frasa syar’i: “Dalam harta mereka ada hak orang lain...” (QS. Adz-Dzariyat [51]:19).

Selain itu, rumah sejumlah anggota DPR juga dijarah. Massa mengambil barang-barang mewah di rumah mereka sebagai bentuk protes terhadap arogansi dan gaya hidup hedonis para pejabat. Sekalipun penjarahan tidak dapat dibenarkan secara hukum, hal itu menjadi cerminan protes keras atas kesenjangan sosial dan ekonomi yang semakin melebar di masyarakat.

Rakyat merasa pemerintah lebih peduli pada kepentingan elit dan golongan tertentu daripada kebutuhan rakyat banyak. Tragedi pun terjadi: seorang pemuda bernama Affan Kurnia tewas dilindas mobil Brimob, sementara seorang polisi jatuh di trotoar, lalu dipukuli massa dan dilempari batu berkali-kali. Tragis!

Di tengah kerusuhan, muncul seorang anggota dewan yang menyatakan mundur dari DPR dengan tegas: “Saya tidak mau makan uang haram. Lebih baik saya mundur dari anggota DPR.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa masih ada wakil rakyat yang jujur dan peduli pada kebenaran serta keadilan.

Ada pula pemandangan mengharukan: massa demonstran melakukan shalat Maghrib berjamaah di jalan dengan pengawalan TNI. Peristiwa ini menunjukkan bahwa meskipun terjadi kerusuhan, nilai agama dan kebersamaan tetap dijaga oleh sebagian masyarakat.

Jika menilik tradisi korupsi, besarnya gaji, dan gaya hidup hedonis pejabat negara, anggota DPR, serta komisaris BUMN, lalu membandingkannya dengan kecemburuan sosial yang disuarakan rakyat, maka benarlah perkataan Syeikh Mutawalli Asy-Sya’rawi:

“Jika kalian melihat ada orang miskin di negeri kaum muslimin, maka di sana pasti ada orang kaya yang mencuri hartanya.”

Jangan Buta dan Tuli

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِۖ لَهُمْ قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اٰذَانٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ

"Manusia dan jin yang banyak itu Kami siapkan untuk menjadi penghuni neraka Jahanam. Mereka mempunyai hati tetapi tidak mau memahami kebenaran, mempunyai mata tetapi tidak mau melihat kebenaran, mempunyai telinga tetapi tidak mau mendengar kebenaran. Mereka itu laksana hewan ternak, bahkan lebih bebal. Mereka itulah orang-orang yang lalai." (QS. Al-A’raf [7]:179)

Ayat ini menegaskan bahwa orang yang tidak menggunakan potensi yang diberikan Allah untuk memahami dan mengamalkan kebenaran akan tersesat, karena memilih mengikuti hawa nafsu dan arahan setan.

Sebagai pemimpin, Tuan Presiden Prabowo hendaknya menggunakan hati, mata, dan telinga untuk memahami kebenaran serta menjalankan kekuasaan dengan adil dan bijaksana. Jangan sampai—maaf—menjadi seperti binatang ternak yang tidak memiliki kesadaran spiritual dan tidak menggunakan akal sehat.

Rakyat Indonesia telah menyampaikan aspirasi mereka melalui demonstrasi. Maka, Tuan Presiden Prabowo harus mendengarkan suara rakyat, menjalankan pemerintahan dengan adil, amanah, dan berintegritas. Dengan begitu, kebahagiaan dan kesejahteraan sejati dapat terwujud.

Waspadai 6 Bahaya yang Mengancam Negara

Masa depan bangsa ini cukup mengkhawatirkan. Rasulullah SAW telah memperingatkan beberapa perkara yang dapat membuat negara tidak stabil, tidak adil, dan tidak harmonis.

Beliau bersabda:

«بَادِرُوا بِالْمَوْتِ سِتًّا: إِمْرَةَ السُّفَهَاءِ، وَكَثْرَةَ الشُّرَطِ، وَبَيْعَ الْحُكْمِ، وَاسْتِخْفَافًا بِالدَّمِ، وَقَطِيعَةَ الرَّحِمِ، وَنَشْوًا يَتَّخِذُونَ الْقُرْآنَ مَزَامِيرَ يُقَدِّمُونَهُ يُغَنِّيهِمْ، وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ مِنْهُمْ فِقْهًا»

"Bersegeralah beramal shalih sebelum datang enam perkara: munculnya pemimpin-pemimpin bodoh, banyaknya polisi yang menindas, hukum diperjualbelikan, menganggap ringan darah manusia, putusnya silaturahmi, dan muncul generasi yang menjadikan Al-Qur’an sebagai nyanyian. Mereka didahulukan sebagai imam karena pandai mendendangkan Al-Qur’an, padahal minim fikih." (HR. Ahmad, Thabarani, dan Bukhari dalam Tarikh al-Kabir)

Keenam perkara itu adalah:

  1. Pemimpin bodoh – tidak mampu mengurus negara, membuat keputusan yang merugikan rakyat, menurunkan kualitas hidup dan kepercayaan.
  2. Alat kekuasaan menindas – rakyat tidak merasa aman, pelanggaran HAM meningkat, konflik sulit dihindari.
  3. Hukum diperjualbelikan – melahirkan korupsi, nepotisme, dan kezaliman; rakyat kehilangan kepercayaan pada hukum.
  4. Ringannya nyawa manusia – kekerasan dianggap biasa, memicu krisis kemanusiaan.
  5. Putusnya silaturahmi – melemahkan solidaritas sosial, memicu konflik, dan mengacaukan interaksi masyarakat.
  6. Al-Qur’an dijadikan nyanyian – mengabaikan fungsi sebagai pedoman hidup, generasi kehilangan arah, moral merosot, dan masyarakat tidak seimbang.

Jika keenam bahaya ini dibiarkan, negara akan hancur. Karena itu, pemerintah harus waspada dan berupaya mencegahnya dengan kebijakan yang adil dan bijaksana.

Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah memastikan proses seleksi pejabat negara, termasuk wakil presiden, dilakukan secara transparan dan sesuai prosedur konstitusional. Kasus wakil presiden yang disebut sebagai “anak haram konstitusi” telah menimbulkan kontroversi dan mengancam stabilitas negara. Pemerintah juga harus memastikan kabinetnya bebas dari pejabat berloyalitas ganda, agar dapat bekerja efektif demi kepentingan rakyat.

Jika pemerintah mampu mengatasi enam bahaya tersebut, rakyat akan merasa aman dan percaya. Dengan begitu, pemerintah tak perlu takut intrik lawan politik, sebab rakyat akan mendukung pemerintahan yang adil dan bijaksana.

Dengan dukungan rakyat, roda pemerintahan akan berjalan lebih efektif dan stabil, menuju masyarakat adil, sejahtera, dan berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Wallahu a’lam bish-shawab!

Yogyakarta, Selasa 2 September 2025
IRFAN S. AWWAS

(*/samirmusa/arrahmah.id)

Editor: Samir Musa

Ustadz Irfan S. Awwas