JAKARTA (Arrahmah.id) - Ketua Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Hikmah Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Busyro Muqoddas, mendesak pemerintah segera menetapkan status darurat kemanusiaan atau bencana nasional atas banjir besar yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.
Menurut Busyro, bencana tersebut tidak dapat dipandang sebagai peristiwa alam semata, melainkan bagian dari rangkaian persoalan kemanusiaan yang lebih luas di berbagai wilayah Indonesia.
Ia menilai konflik agraria, kebijakan pembangunan, serta proyek-proyek strategis nasional turut berkontribusi memperparah tragedi kemanusiaan yang terjadi.
“Tragedi kemanusiaan, tragedi keadaban, tragedi etika dan moral kemanusiaan, kebangsaan di Aceh, Sumut, dan Sumbar ini merupakan akibat dari kriminalisasi, radikalisasi, dan bahkan terorisme politik yang dilakukan oleh negara,” ujar Busyro dalam konferensi pers bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jumat (12/12).
Ia menambahkan, peristiwa di tiga provinsi tersebut mempertegas tragedi serupa yang sebelumnya terjadi di sejumlah wilayah lain, seperti Rempang, Ternate, Morowali, Pantai Indah Kapuk, dan Banten.
Berdasarkan kajian lintas disiplin yang dilakukan pihaknya, Busyro menilai terdapat pola yang menunjukkan dampak serius dari praktik radikalisme politik negara.
“Tragedi ini adalah produk dan praktik nyata hilirisasi dari radikalisme politik. Akibatnya terjadi terorisme politik, dan korbannya adalah rakyat,” tegasnya.
Busyro meminta Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera mengambil keputusan politik dengan menetapkan status darurat kemanusiaan dan bencana nasional untuk ketiga wilayah tersebut dalam waktu paling lambat dua hari.
“Kita mendesak sekuat-kuatnya, secepat-cepatnya, agar Presiden selaku kepala pemerintahan bersama DPR dalam waktu dua hari paling lama menetapkan status darurat kemanusiaan dan status bencana nasional,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya pengawasan ketat terhadap penyaluran bantuan jika status darurat ditetapkan.
Busyro menolak penanganan bencana yang sepenuhnya diserahkan kepada aparat tanpa pengawasan publik, seraya menyinggung pengalaman masa lalu, termasuk pada penanganan tsunami Aceh yang dinodai berbagai penyimpangan.
“Kalau ada bantuan, itu konsepnya apa? Ini harus diawasi bersama-sama. Jangan percayakan bantuan hanya pada aparat, apalagi ada unsur penumpang gelap seperti sebagian partai politik yang memasang bendera-bendera,” katanya.
Selain itu, Busyro turut menyoroti program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dinilainya sangat ambisius namun belum didukung kajian kelayakan yang memadai.
Ia mengingatkan agar program tersebut tidak dijadikan etalase politik di tengah kondisi masyarakat yang sedang terdampak bencana berat.
“Proyek MBG itu berjumlah lebih dari Rp300 triliun, dan dananya disedot secara tidak proporsional dari sektor pendidikan dan lainnya. Ini perlu dipertimbangkan agar proyek MBG dihentikan dan dananya dialihkan ke penanganan darurat di tiga wilayah tersebut,” ungkapnya.
Muhammadiyah juga mendorong keterlibatan aktif aktor-aktor masyarakat sipil dalam mengawal penanganan bencana.
Busyro meminta kampus, organisasi keagamaan, dan elemen masyarakat sipil melakukan aksi nyata, bukan sekadar wacana.
Ia mengapresiasi inisiatif bantuan dari masyarakat, namun menegaskan bahwa langkah tersebut tidak akan cukup tanpa kebijakan struktural dari negara.
“Apalah artinya proyek-proyek kemanusiaan yang konkret itu jika negara tidak mengambil langkah-langkah serius. Presiden datang lalu tenda-tenda baru didirikan, itu kelaziman yang niradab, nirkemanusiaan, dan nirkepekaan,” tuturnya.
(ameera/arrahmah.id)
