GAZA (Arrahmah.id) - Pada 3 Agustus lalu, Menteri Keamanan Nasional 'Israel', Itamar Ben-Gvir, menerobos masuk ke kompleks Masjid Al-Aqsha saat perayaan hari raya Yahudi Tisha B’Av. Ia datang bersama 1.250 pemukim yang melakukan ritual keagamaan, mengibarkan bendera, dan menyanyikan lagu-lagu yang menyerukan pembangunan “Bait Suci Ketiga.”
Kunjungan ini adalah yang keempat bagi Ben-Gvir sejak 7 Oktober 2023. Namun, kali ini ia melakukannya di tengah gempuran kecaman internasional terhadap 'Israel' atas kelaparan massal di Gaza dan rencana perebutan penuh wilayah Palestina.
Meski menuai kritik global, para analis menilai langkah Ben-Gvir menunjukkan tekad 'Israel' untuk menggoyang status quo yang rapuh demi kepentingannya sendiri.
Bagi rakyat Palestina, Al-Aqsha sudah lama menjadi pusat perlawanan sejak 'Israel' menduduki Yerusalem Timur pada 1967. Kunjungan Ben-Gvir mencerminkan agenda sayap kanan-ekstrem yang kian agresif untuk mengubah tatanan historis di situs suci umat Islam tersebut.
Dalam wawancara dengan The New Arab, Syekh Azzam Al-Khatib, Direktur Waqaf Islam Yerusalem, mengatakan bahwa Ben-Gvir kerap melakukan “tur provokatif” di dalam Al-Haram Al-Sharif, didampingi pejabat tinggi kepolisian 'Israel'.
“Pada Ahad itu, sekitar 100 aparat keamanan 'Israel' dikerahkan untuk mengawal gerakannya,” ujar Al-Khatib. “Pelanggaran seperti ini semakin meningkat drastis sejak perang di Gaza dimulai,” tambahnya, sambil menyerukan warga Palestina untuk datang ke Al-Aqsha dan menjaga murabithah (kehadiran teguh) demi menolak pembagian waktu dan ruang di masjid tersebut.
Pada Juni lalu, Inggris, Kanada, Australia, Selandia Baru, dan Norwegia menjatuhkan sanksi kepada Ben-Gvir dan Menteri Keuangan 'Israel' yang juga sayap kanan-ekstrem, Bezalel Smotrich, karena “menghasut kekerasan ekstremis terhadap warga Palestina.”
Wasel Abu Yousef, anggota Komite Eksekutif PLO, menggambarkan situasi di situs suci umat Islam itu sebagai “genosida terhadap identitas Islam Al-Quds.” Ia menegaskan bahwa upaya sistematis untuk menjudaikan Al-Aqsa, termasuk kunjungan provokatif Ben-Gvir, adalah langkah untuk menghapus karakter Islam kota itu.
Dengan kehancuran Gaza dan meningkatnya kekerasan pemukim di Tepi Barat, Abu Yousef menyatakan: “Jelas ini adalah perang menyeluruh terhadap rakyat Palestina dan tempat-tempat suci mereka.” Ia memperingatkan bahwa tanpa sanksi dan boikot global, Al-Aqsha bisa hilang sepenuhnya. Menurutnya, pemerintah sayap kanan-ekstrem 'Israel' sedang menjalankan program untuk “menyelesaikan konflik” lewat aneksasi Tepi Barat, eskalasi kekerasan, dan kejahatan terhadap rakyat Palestina.
Ia menambahkan, persenjataan pemukim berarti pertumpahan darah dan perang yang hanya bisa dihadapi rakyat Palestina lewat perlawanan. Selama dua tahun terakhir, persenjataan pemukim melonjak pesat dengan dukungan langsung Smotrich dan Ben-Gvir. Banyak laporan, termasuk dari kelompok HAM 'Israel', mendokumentasikan pembagian senjata laras panjang dan otomatis kepada pemukim untuk membentuk “milisi bersenjata” yang menghancurkan properti, membunuh warga Palestina, dan memaksa ribuan orang mengungsi.
Menurut Kementerian Keamanan Nasional 'Israel', ada lebih dari 403.000 pengajuan izin kepemilikan senjata api, di mana 217.000 disetujui secara bersyarat dan 165.000 diberikan izin permanen setelah serangan Hamas pada 7 Oktober. Ribuan orang mendapatkan senjata untuk pertama kalinya.
Abu Yousef memperingatkan bahwa militerisasi ini, ditambah rencana menghancurkan Al-Aqsha dan menggantinya dengan Bait Suci Yahudi, menjadi ancaman eksistensial bagi rakyat Palestina dan warisan mereka.
Imad Abu Awad, jurnalis dan analis urusan 'Israel', mengatakan bahwa kunjungan Ben-Gvir bukanlah insiden terpisah, melainkan bagian dari perjanjian koalisi dengan PM Benjamin Netanyahu untuk menjudaikan Yerusalem secara sistematis.
“Ini lebih dari sekadar penggerebekan,” ujar Abu Awad. “Ini adalah tanda jelas niat 'Israel' untuk menghancurkan Al-Aqsha, mengabaikan sensitivitas agama, dan mengancam keamanan kawasan.” Ia mencatat, serbuan pemukim meningkat dari 3.000 orang pada 2006 menjadi 70.000 per tahun saat ini, bahkan kadang mencapai 3.000 orang per hari. Ritual mereka kini mencakup sujud penuh, doa, dan wacana pembangunan sinagoga di dalam kompleks.
Dengan membiasakan publik pada pemandangan warga 'Israel' beribadah di halaman Al-Aqsha di bawah penjagaan bersenjata, Ben-Gvir perlahan-lahan menanamkan kedaulatan 'Israel' atas situs tersebut. Menurut Abu Awad, mereka kini lebih dekat dari sebelumnya untuk mencapai tujuan itu, sementara reaksi internasional tetap dingin dan kecil kemungkinannya menghentikan ambisi ekspansionis 'Israel'. Ia menambahkan bahwa ideologi sayap kanan-ekstrem mengaitkan penguasaan Yerusalem dengan visi mesianik yang meluas hingga sebagian Suriah dan Lebanon.
Ismat Mansour, analis urusan 'Israel' sekaligus mantan tahanan politik, menilai kunjungan Ben-Gvir bukan sekadar provokasi, tapi strategi jangka panjang. Namun di tengah pembantaian massal di Gaza, perhatian dunia terhadap serbuan ke Al-Aqsha semakin berkurang.
“Fokus dunia ada di Gaza, dan ancaman terhadap Al-Aqsha nyaris tak diindahkan,” kata Mansour, seraya memprediksi bahwa tanpa dorongan serius dari dunia Arab atau internasional, ketegangan bisa meledak kapan saja.
“Tidak ada proses perdamaian yang nyata,” tutupnya. “Apa yang terjadi di Tepi Barat adalah kebijakan yang dirancang secara sadar oleh sayap kanan-ekstrem dan milisi pemukim, yang bisa memicu konfrontasi besar.”
Mansour memperingatkan, sikap menantang Ben-Gvir mengirim pesan bahwa ia bisa bertindak tanpa konsekuensi, dan hal ini mengancam kestabilan seluruh kawasan. (zarahamala/arrahmah.id)
