Bencana Sumatra: Kerusakan Alam Akibat Kapitalisme

Oleh Hanin Mazaya
Rabu, 10 Desember 2025 - 19.15
Bencana Sumatra: Kerusakan Alam Akibat Kapitalisme
Bencana Sumatra: Kerusakan Alam Akibat Kapitalisme

Beberapa pekan lalu hujan yang sangat deras mengguyur berbagai wilayah di Indonesia. Akibatnya, banjir dan tanah longsor di mana-mana, termasuk di wilayah Sumatra Utara, Sumatra Barat, Aceh, dan beberapa wilayah lainnya. Di Sumatra, data per 1 Desember 2025 korban meninggal akibat bencana banjir mencapai 604 orang, belum yang luka-luka maupun yang hilang.

Tercatat total korban di Sumatra, korban jiwa 604 orang, korban hilang 464 orang, korban luka 2.600 orang, warga terdampak 1 5 juta orang, dan jumlah pengungsi sekitar 570 ribu orang. Selain itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga menyampaikan sebanyak 3.500 rumah yang rusak berat, 4.100 rumah rusak sedang, dan 20.500 rumah rusak ringan. Kemudian 271 jembatan rusak hingga 282 fasilitas pendidikan juga mengalami kerusakan. (CNNIndonesia, 1/12/2025)

Meskipun banjir bandang dan tanah longsor telah memporak-porandakan wilayah Sumatra, hingga hari ini pemerintah pusat belum menetapkannya sebagai bencana  nasional. Padahal, dampak dari bencana tersebut sangat luar biasa. Ratusan jiwa menjadi korban, banyak infrastruktur yang rusak, belum lagi kerugian harta benda, hingga runtuhnya perekonomian dan sosial masyarakat. Transportasi juga lumpuh total, akibatnya bantuan logistik tidak dapat tersalurkan kepada para korban. Banjir di kawasan Sumatra ini juga terlihat semakin parah karena menurunnya daya tampung kawasan, seperti sungai, daerah resapan maupun tata ruang yang semakin tidak terkendali.

 

Kapitalisme, Penyebab Rusaknya Lingkungan

Bencana banjir yang terjadi setiap tahun tentu bukan hal yang dapat dianggap remeh, akan tetapi harus mendapat perhatian yang serius dari negara. Pemerintah harus mulai tanggap dan serius memikirkan nasib rakyat terutama dalam kondisi darurat seperti saat ini.

Memang benar, curah hujan yang tinggi menjadi faktor utama penyebab tanah longsor dan juga banjir. Namun ada sebab lain yang tidak kalah pentingnya untuk disadari oleh masyarakat. Yakni, selain bencana itu sebagai ujian atau musibah serta faktor alam, ada faktor lain yang merupakan akumulasi dari kejahatan lingkungan yang telah berlangsung lama dan dilegitimasi oleh berbagai kebijakan penguasa.

Di antaranya kebijakan pemberian hak konsesi lahan secara masif oleh pemerintah, izin perkebunan sawit secara besar-besaran, izin tambang terbuka, bahkan izin tambang untuk sejumlah ormas, serta regulasi lainnya, seperti Undang-Undang (UU) Minerba, UU Ciptaker yang semuanya itu akan memberikan peluang terjadinya eksploitasi secara ugal-ugalan tanpa kendali.

Mirisnya, semua kebijakan di atas tak satupun yang berpihak kepada rakyat, melainkan untuk kepentingan segelintir elit, sementara kepentingan rakyat malah diabaikan. Di sini, penguasa dan pengusaha berkolusi, menjarah apa yang menjadi hak rakyat. Dengan mengatasnamakan pembangunan, mereka berkolaborasi membuka lahan dan hutan secara besar-besaran, tanpa memperhitungkan dampak ekologis yang menyebabkan hilangnya daya tampung wilayah, serta menurunnya kemampuan tanah dalam menyerap  air dan rusaknya aliran sungai. Padahal ketiga faktor inilah yang mampu menopang debit air, apalagi sungai yang sejatinya dapat menampung aliran air secara alami.

Akibatnya, setiap hujan lebat masyarakat menjadi was-was. Hujan yang sejatinya membawa keberkahan justru menjadi bencana besar dan masyarakatlah yang menanggung derita. Seperti kehilangan tempat tinggal, keluarga, dan harta benda lainnya yang ikut lenyap.

Kondisi seperti ini, niscaya terjadi dalam negara yang menerapkan sistem kapitalisme sekulerisme, di mana keuntungan yang menjadi orientasi utama. Penguasa hanya berfungsi sebagai regulator untuk memuluskan kepentingan para oligarki sebagai politik balas budi. Alih-alih menjadi pengurus rakyat, penguasa seperti ini justru menjadi bagian dari kerusakan itu sendiri.

Sistem kapitalisme yang berasaskan sekulerism, yakni memisahkan agama dari kehidupan, juga menjadikan semua urusan dunia tidak berhukum kepada hukum Allah Swt., tetapi diserahkan kepada aturan manusia. Itu sebabnya banjir dan tanah longsor terjadi berulang tiap tahunnya, karena terjadi pembiaran oleh negara terhadap pembukaan hutan yang tak terkendali, padahal seharusnya dijaga dan dilindungi. Sebaliknya, Namun penguasa abai terhadap yang demikian, lebih cenderung mengikuti hawa nafsu, memperkaya diri meskipun rakyat menjadi korban.

Jelaslah, musibah banjir dan longsor di Sumatra telah memperlihatkan kepada kita bahaya nyata kerusakan lingkungan. Artinya, kerusakan lingkungan bukan sekadar akibat kelalaian teknis, tetapi buah dari penerapan sistem batil kapitalisme dan paradigma yang keliru dalam pengelolaan lingkungan. Oleh karena itu, agar masyarakat terhindar dari dampak buruk kerusakan lingkungan, tidak ada jalan lain selain kembali kepada aturan Allah Swt.

 

Sistem Islam Menjaga Kelestarian Lingkungan

Berbeda dengan sistem kapitalisme sekulerisme, sistem Islam mempunyai cara tersendiri dalam menjaga lingkungan dan masyarakat. Pengelolaan lingkungan dalam Islam dilakukan berdasarkan prinsip amanah, keadilan, dan larangan keras terhadap hal-hal yang dapat merusak lingkungan. Islam telah mengingatkan kepada umat manusia, bahwasannya kerusakan yang terjadi di bumi adalah akibat ulah manusia itu sendiri. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah Ar-Rum ayat 41 yang artinya: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka."

Dari ayat tersebut, kita pahami bahwa menjaga kelestarian lingkungan bukan hanya perkara teknis semata. Namun merupakan bagian dari keimanan dan ketakwaan. Umat Islam wajib untuk menjaga kelestarian lingkungan yang telah Allah Swt. ciptakan dan sebaliknya dilarang merusaknya.

Negara dalam Islam juga  bertanggung jawab terhadap rakyatnya serta lingkungan agar masyarakat merasakan keamanan dan juga kenyamanan hidup dalam naungan  Islam. Karena, sistem Islam menjadikan kepala negara atau khalifah adalah raa'in (pengurus rakyat). Sabda Rasulullah saw. yang artinya: "Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya."

Oleh karena itu, negara wajib melaksanakan hukum-hukum yang berasal dari Allah Ta'ala dalam mengurusi urusan rakyatnya, termasuk dalam pengelolaan lingkungan  dan penataan hutan. Hutan dalam Islam dikategorikan milik umum atau milik rakyat sehingga haram jika pengelolaannya diserahkan kepada individu atau swasta baik lokal maupun asing.

Negara juga harus memastikan bahwa seluruh kekayaan alam milik rakyat tersebut diperlakukan sebagai amanah, bukan objek eksploitasi. Masyarakat juga boleh mengambil manfaat dari hutan tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bahkan untuk bisnis sekalipun. Hanya saja juga negara melarang pembukaan lahan atau hutan yang merusak ekologis dan berdampak pada penderitaan rakyat. Sebaliknya pemimpin Islam atau khalifah akan memastikan bahwa setiap kebijakan akan diarahkan untuk mencegah dharar (bahaya) dan menjaga keselamatan manusia serta lingkungan.

Selain itu negara juga akan menyusun blueprint  tata ruang yang komprehensif, melakukan pemetaan wilayah sesuai fungsi alaminya mulai dari kawasan hutan lindung, area hunian dengan  daya dukungnya, wilayah industri, pertambangan hingga himmah (konservasi).

Tak hanya itu, negara juga siap mengalokasikan anggaran yang memadai untuk pencegahan banjir dan bencana lainnya berdasarkan  penelitian para ahli, bukan sekedar untuk proyek mercusuar apalagi untuk kepentingan oligarki. Dengan konsep yang tertata sesuai syariat, niscaya permasalahan apapun akan dapat terselesaikan. Dan konsep tersebut hanya ada dalam sistem khilafah Islam, yang akan menerapkan hukum-hukum Islam secara kafah (menyeluruh) dan menebarkan berkah ke seluruh alam.

Wallahu a'lam bis shawab

Editor: Hanin Mazaya

Opini