Bencana Terjadi Dimana-mana, Jangan Salahkan Cuaca

Oleh Hanin Mazaya
Senin, 8 Desember 2025 - 15.54
Bencana Terjadi Dimana-mana, Jangan Salahkan Cuaca
Bencana Terjadi Dimana-mana, Jangan Salahkan Cuaca

Dalam beberapa pekan terakhir berbagai wilayah Indonesia mengalami bencana alam hidrometeorologi seperti cuaca ekstrem, banjir, dan tanah longsor. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pada periode November 2025 telah terjadi sebanyak 3.000 bencana yang menyebabkan masyarakat kehilangan harta benda, harus mengungsi, bahkan ada yang meninggal dunia.

Di Pulau Jawa, tepatnya di Banjarnegara, Tanah longsor telah menewaskan 2 orang, 800 warga mengungsi, dan 26 lainnya masih dalam pencarian. Sedangkan di Cilacap, terdapat 16 korban jiwa dan 7 diantaranya masih dalam pencarian karena tertimbun material longsor. BNPB dan Tim SAR mengaku kesulitan melakukan evakuasi karena terkendala cuaca dan medan yang sulit. Tidak berselang lama, bencana yang sama juga terjadi Di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Banjir bandang dan tanah longsor menyebabkan sedikitnya 604 warga meninggal dunia. 464 hilang dan 570.000 mengungsi. Musibah ini menyebabkan masyarakat kehilangan tempat tinggal, kerusakan parah pada infrastruktur, bahkan ada beberapa desa di Aceh yang hilang entah kemana. (bbcnews.com, 2/12/2025)

Jika dicermati, bencana alam yang terjadi seolah hanya disebabkan oleh cuaca atau fenomena alam semata. Padahal lebih dari itu, kesalahan tata kelola ruang hidup dan alih fungsi lahan pun menjadi pemicu terjadinya bencana hidrometeorologi. Penelitian Ramadhan (2021) menyebutkan bahwa alih fungsi lahan menyumbang 63,15% kerusakan lingkungan pada daerah aliran sungai (DAS), hal ini melampaui pengaruh curah hujan yang hanya 36,84%. Data ini bertolak belakang dengan narasi beberapa pihak yang selalu menyalahkan cuaca sebagai penyebabnya.

Masifnya pembalakan, pertambangan, dan alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, perumahan dan industri, menunjukkan lemahnya tata kelola lahan di Indonesia. Penguasa hanya memikirkan nilai ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir pengusaha. Mereka lupa ketika lingkungan rusak, bukan hanya manusia yang harus menanggung akibatnya, tetapi seluruh ekosistem yang hidup di dalamnya.

Ketika pemerintah menandatangani berbagai kebijakan yang mengizinkan korporasi mengalihfungsikan lahan, semestinya mereka juga telah menyadari dampak buruknya terhadap lingkungan kelak dikemudian hari. Sayangnya, sistem penanganan bencana di negeri ini sangat lemah dan bersifat insidental. Tidak ada antisipasi, karena faktanya penguasa hanya merespon ketika bencana telah terjadi, bukan melakukan upaya mitigasi yang sistematis pada fase pencegahan. Misalnya menjaga zona kawasan lindung yang sama sekali tidak boleh dialihfungsikan menjadi lahan komersial dengan alasan apapun.

Selain itu, minimnya anggaran juga membuktikan bahwa penanganan bencana bukan menjadi prioritas. Berdasarkan Nota Keuangan RAPBN 2025, jumlah transfer dana ke daerah mencapai Rp929,9 triliun, namun alokasi untuk penanggulangan bencana hanya Rp5 triliun atau sekitar 0,54% dari APBN. Dana ini hanya bisa digunakan untuk tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Sementara pencegahan, dan mitigasi risiko tidak mendapatkan pendanaan yang cukup.

Penanganan bencana semestinya mencakup beberapa hal, yakni pencegahan, mitigasi (kajian bahaya, kerentanan, kapasitas, dan resiko), kesiapsiagaan dan peringatan dini, tanggap darurat, rehabilitasi juga rekonstruksi. Tahapan awal yakni persiapan sebelum bencana terjadi adalah masa yang sangat penting karena dapat menurunkan resiko sekaligus menjamin keselamatan masyarakat.

Persoalan alih fungsi lahan yang semakin memprihatinkan di Indonesia semakin membuktikan bahwa negeri ini begitu loyal terhadap para korporat. Ini adalah watak khas negara yang menerapkan sistem kapitalisme yang tidak menjadikan keselamatan rakyat sebagai tujuan utama. Bencana pun terus berulang setiap tahunnya, bahkan semakin parah. Untuk mengantisipasinya diperlukan paradigma yang sahih.

Islam sebagai agama sekaligus pedoman hidup memiliki aturan dalam tata kelola lahan, pengelolaannya harus mempertimbangkan kelestarian lingkungan dan kemaslahatan umat sesuai dengan tuntunan syariat Allah. Seorang pemimpin adalah pengayom, bukan pebisnis. Negara bertanggung jawab dalam melakukan penanggulangan bencana demi melindungi rakyat, hal ini bukan hanya prosedural melainkan amanah yang harus diemban oleh penguasa dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt.

Di dalam Islam tata kelola ruang hidup adalah bagian dari kewajiban negara. Sistem ekonominya bertumpu pada kemaslahatan umat sesuai tuntunan syarak. Kepemilikan umum seperti hutan, air, sungai, laut, dan seluruh sumber daya alam tidak boleh diserahkan pengelolaannya kepada perorangan maupun korporasi, melainkan dikelola secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Hal ini secara alamiah akan menjaga kelestarian lingkungan dari eksploitasi pihak swasta.

Dalam tataran penanganan bencana, negara Islam akan mencegah terjadinya musibah tanah longsor, banjir bandang dan lain-lain, dengan cara memastikan kawasan hutan atau daerah resapan tidak dikonversi secara sembarangan, sehingga dapat mengubah siklus hidrologi. Menggunakan setiap riset dan penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan untuk memetakan wilayah mana saja yang boleh dialihfungsikan agar jika terjadi bencana dapat meminimalisir dampaknya bagi masyarakat.

Penguasa Islam juga akan melakukan mitigasi dengan melakukan pengkajian resiko bencana, konservasi ekosistem, dan penguatan infrastruktur. Seperti yang pernah dilakukan pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, yang merancang kota Baghdad dengan jaringan kanal pengendali banjir dan sistem drainase radial yang adaptif terhadap curah hujan tinggi. Di Andalusia pembangunan kanal dan bendungan dilakukan dengan cara konservasi air, sehingga dapat melindungi masyarakat dari kekeringan maupun banjir. Sedangkan pada masa Kekhalifahan Utsmaniyah, bangunan baik masjid maupun rumah dirancang dengan struktur fleksibel yang tahan goncangan, sehingga mampu bertahan dari gempa.

Selanjutnya, Khalifah akan membangun sistem peringatan dini dan menyiapkan masyarakat dengan memberikan edukasi dalam menghadapi bencana, serta mekanisme evakuasi. Apabila musibah terjadi, negara akan menanggung sepenuhnya kebutuhan korban hingga mereka dapat beraktifitas seperti semula. Melakukan rekonstruksi dan rehabilitasi semua kerusakan baik infrastruktur maupun rumah warga dengan cepat, dan terukur. Sehingga pendistribusian bantuan dapat dilakukan dengan cepat, dan tepat, sehingga masyarakat yang terdampak tidak semakin menderita. Adapun pembiayaannya diambil dari baitulmall yang diperoleh dari fai, kharaj, serta dari hasil pengelolaan SDA. Jika tidak mencukupi, dalam keadaan darurat negara diperbolehkan mengambil pajak dari warga negara yang kaya. Penguasa tidak boleh mengandalkan pendanaan dari utang luar negeri atau investasi mengandung riba yang diharamkan.

Demikianlah sistem Islam dalam menangani bencana, paradigma ini memosisikan negara sebagai pelindung rakyat, bukan pebisnis, yang dengan kebijakannya justru mendatangkan malapetaka dan kesengsaraan bagi masyarakat. Hendaknya setiap manusia dapat mengambil hikmah dari Firman Allah Swt.:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar Rum: 41)

Maka dari itu sudah saatnya umat menyadari bahwa hanya syariat Islam lah satu-satunya aturan yang sempurna, yang apabila diterapkan dalam institusi negara mampu memberikan kesejahteraan sekaligus keamanan bagi rakyat. Wallahu'alam bis shawwab

Editor: Hanin Mazaya

Opini