Efektifkah Fatwa MUI untuk Perbaikan Regulasi?

Oleh Hanin Mazaya
Senin, 1 Desember 2025 - 20.08
Efektifkah Fatwa MUI untuk Perbaikan Regulasi?
Efektifkah Fatwa MUI untuk Perbaikan Regulasi?

Kompas.com News Nasional (23 /11/ 2025) memuat kabar: Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Ketua Bidang Fatwa, Profesor Asrorun Niam Sholeh, mengeluarkan fatwa bahwa kebutuhan pokok seperti sembako dan rumah tidak boleh dipajaki. Pajak hanya untuk kebutuhan sekunder dan tersier, karena pungutan pajak terhadap kebutuhan pokok tidak mencerminkan keadilan. Fatwa tentang Pajak Berkeadilan ini ditetapkan dalam Forum Munas MUI yang berlangsung 20-23 November 2025 di Hotel Mercure, Jakarta.

Fatwa ini ditetapkan sebagai respon hukum Islam tentang masalah sosial yang muncul akibat adanya kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dinilai tidak adil. Sebelumnya heboh PBB di beberapa daerah naik sampai ratusan persen akibat pengetatan anggaran dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah menaikkan PBB untuk menutup biaya daerahnya. Kenaikan PBB yang brutal ini tentu sangat meresahkan masyarakat. Maka fatwa MUI yang dinamai Pajak Berkeadilan ini, diharapkan menjadi solusi untuk perbaikan regulasi.

Pajak Berkeadilan memuat ketentuan hukum Islam, seperti: Negara wajib bertanggung jawab mengelola dan memanfaatkan seluruh kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat. Apabila kekayaan negara tidak cukup untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, maka negara boleh memungut pajak dari rakyat dengan ketentuan sebagai berikut: Pertama, pajak penghasilan hanya dikenakan kepada warga negara yang memiliki penghasilan senilai minimal setara dengan nishab zakat mal yaitu 85 gram emas. Kedua, pajak hanya dikenakan kepada harta yang produktif dan/atau merupakan kebutuhan sekunder dan tersier. Ketiga, Pajak digunakan untuk kepentingan masyarakat yang membutuhkan dan kepentingan publik secara luas.

Penetapan pajak harus berdasar pada prinsip keadilan seperti: Pengelolaan pajak harus amanah dan transparan serta berorientasi pada kemaslahatan umum, Pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak, secara syar’i merupakan milik rakyat yang pengelolaannya diamanahkan kepada pemerintah. Oleh karena itu pemerintah wajib mengelola harta pajak dengan prinsip amanah yaitu jujur, profesional, transparan, akuntabel dan berkeadilan. Barang yang menjadi kebutuhan primer masyarakat, tidak boleh dibebani pajak secara berulang. Barang konsumtif yang merupakan kebutuhan primer, khususnya sembilan bahan pokok, tidak boleh dibebani pajak. Bumi dan bangunan yang dihuni pemiliknya tidak boleh dikenakan pajak berulang. Zakat yang sudah dibayarkan oleh umat Islam menjadi pengurang kewajiban pajak.

Bersyukur bahwa MUI dengan fatwa tentang pajak, memainkan perannya sebagai wakil suara umat dalam mengingatkan pemerintah bahwa kebijakan pajak saat ini memberatkan rakyat. Sayangnya fatwa MUI tidak berkekuatan hukum, bahkan kadang berlalu begitu saja, tidak diindahkan oleh Pemerintah. Agama dan ulama bukan standar kebijakan negara karena negara kita menerapkan sistem Kapitalisme sekuler, dimana agama dipisahkan dari kehidupan masyarakat dan negara. Suara Ulama hanya sebatas himbauan, tidak bisa mengarahkan regulasi pemerintah.

Asas kebijakan pemerintah saat ini adalah asas manfaat dan materi. Rakyatlah yang menggaji pemerintah, wakil rakyat, pegawai negeri bahkan membiayai pembangunan. Pajak dikenakan terus-menerus pada seluruh rakyat, baik yang kaya maupun miskin karena pajak ada pada setiap barang yang kita beli berbentuk pajak pertambahan nilai (PPN). Rakyat pun dikenai pajak lainnya seperti PBB untuk rumah tinggal, pajak jual beli tanah, pajak hiburan dan pajak kendaraan bermotor. Rakyat negeri ini terus dipalak dengan pajak oleh pemerintah karena pendapatan negara Kapitalis bersumber dari pajak dan utang.

Lalu Sumber Daya Alam untuk siapa? Para oligarki yang menikmati. Seharusnya MUI jangan cuma menyoroti pajaknya, tapi bidiklah sistemnya. Karena sistem kapitalismelah akar masalah kesulitan hidup rakyat sekarang. Sistem jahat ini yang menyengsarakan rakyat tapi membuat senang para oligarki. Sistem Kapitalisme sekuler ini yang tidak adil. Rakyat tidak diurus dengan optimal tapi terus dibebani pajak. Sedangkan para oligarki diberi keleluasaan mengelola sumber daya alam serta keringanan pajak. Mereka mendapat keuntungan besar dari SDA yang sejatinya milik rakyat.

Peraturan di negara Kapitalis sekuler dikendalikan oleh para pemilik modal yaitu para oligarki, bukan atas dasar kemaslahatan rakyat apalagi ridho Sang Pencipta alam semesta. Tidak ada nilai ruhiyah dalam regulasinya. Maka bisa dipastikan fatwa MUI tentang pajak itu, tidak akan efektif untuk memperbaiki regulasi pemerintah.

Berbeda dengan negara yang menerapkan sistem Islam (Khilafah). Peran ulama sangat penting, karena asas negaranya adalah akidah Islam yang sangat dikuasai para ulama. Ulama mempunyai tugas sebagai pewaris para nabi untuk menyampaikan ilmu dan kebenaran, membimbing umat melalui pendidikan dan nasihat, serta menjaga keharmonisan sosial dan moral dalam masyarakat. Ulama berperan sebagai pemimpin rohani, agen perubahan sosial, penegak kebenaran, dan penasehat bagi pemerintah, memastikan umat berjalan di jalan yang lurus sesuai Syari'at Islam.

Ulama sebagai penasehat pemerintah, berperan mengawal pemerintah dalam urusan sosial, ekonomi, keagamaan, dsb. Ulama akan memberikan kritik konstruktif terhadap regulasi/kebijakan pemerintah agar regulasi yang ditetapkan bersifat adil, bertujuan demi kemaslahatan umat dan tidak menyalahi Aturan Allah SWT.

Sehingga dalam negara Khilafah, tidak akan ada kebijakan yang memberatkan seluruh rakyat termasuk pajak. Pajak hanya dilakukan saat Baitul mal kekurangan (darurat) uang untuk memenuhi kebutuhan wajib negara seperti membayar upah para pegawai negeri, serta menyantuni anak yatim dan lansia. Pajak tidak terus-menerus sepanjang waktu, melainkan hanya saat darurat. Yang dikenai pajak pun hanya kelompok orang kaya, tidak pada setiap orang. Keadilan hanya ada pada sistem Islam dalam naungan Khilafah.

Wallahu a'lam bisshawab

Editor: Hanin Mazaya

Opini