Fenomena Fatherless Mengancam Generasi

Oleh Irma FaryantiPegiat Literasi
Rabu, 22 Oktober 2025 - 17.32
Fenomena Fatherless Mengancam Generasi
Fenomena Fatherless Mengancam Generasi

Tidak hadirnya peran seorang ayah atau biasa dikenal dengan Fatherless saat ini menjadi permasalahan yang serius di tengah masyarakat. Ketidakhadirannya ternyata cukup berdampak, baik secara fisik maupun psikologis. Penyebabnya bisa dikarenakan masalah perceraian, bekerja di luar kota, sang ayah pelaku KDRT, juga bisa dikarenakan buruknya hubungan dengan anaknya.

Menurut data tim Jurnalisme Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada Maret 2024, terdapat 15,9 juta anak atau setara 20,1% dari total 79,4 juta anak usia 18 tahun berpotensi mengalami Fatherless. 4,4 juta diantaranya karena tidak tinggal bersama ayahnya, sementara 11,5 juta lainnya sang ayah sibuk bekerja di luar rumah. (www.kompas.id, Jumat 10 Oktober 2025)

Berdasarkan hasil survei kualitatif pada 16 psikolog klinis di 16 kota di Indonesia, Fatherless dapat menimbulkan beberapa dampak seperti rasa minder dan mental yang labil. Bisa juga menyebabkan kenakalan remaja, sulit berinteraksi sosial juga membuat motivasi akademiknya menjadi rendah. Lindarda S Panggalo, seorang Psikolog asal Toraja, Sulawesi Selatan menambahkan bahwa kondisi ketiadaan peran ayah dapat membuat anak tidak percaya diri dan menjadi korban kekerasan.

Saat ini, peran seorang ayah sering dianggap selesai ketika telah mencari nafkah dan mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Padahal keberadaannya dibutuhkan untuk pengasuhan anak dari sisi emosional, teladan moral serta hubungan kedekatan antara keduanya. Faktanya, saat ini para ayah banyak menghabiskan waktu untuk bekerja lebih dari 60 jam per pekannya. Sehingga waktu kebersamaan dengan anak-anaknya sangat terbatas. Belum lagi kehilangan sosok tersebut akibat perceraian dan kematian, hal ini tentu menjadi fenomena yang tidak bisa diabaikan.

Namun yang sering luput dari perhatian, fenomena Fatherless juga tidak bisa dilepaskan dari sistem yang saat ini tengah diterapkan yaitu kapitalisme. Di mana para orang tua digiring untuk mementingkan pencapaian materi baik harta juga jabatan, daripada meluangkan waktu untuk pengasuhan dan pendidikan anak.

Faktor sekularisasi kehidupan pun turut menjadi penyebab, kurangnya pemahaman agama membuat para orang tua khususnya ayah tidak memahami peran pentingnya sebagai qawwam (pemimpin), juga anggapan yang salah bahwa tugas mengasuh dan mendidik hanya menjadi tugas ibu saja. Alhasil, krisis kepemimpinan pun terjadi, dan Gen Z pun terdampak. Mereka didera sunyi, dituntut sempurna di media sosial tapi kebingungan akibat minim ruang untuk pulang, akibat tidak lengkapnya peran orang tua.

Maka tidak heran, banyak terjadi kasus anak bunuh diri, stres dan depresi berat. Dengan mental yang lemah, tentu harapan masa depan Indonesia akan baik-baik saja bak panggang jauh dari api. Fenomena Fatherless dihasilkan dari serangkaian kebijakan dan regulasi multisektor yang telah meminggirkan peran ayah dalam pendidikan dan pengasuhan. Hal ini bersifat sistemis karena kebijakan berasal dari pemerintah yang seharusnya berperan sebagai pengayom urusan rakyat.

Dari aspek pendidikan, kapitalisme juga lebih mengarahkannya pada pencapaian materi. Sekularisme yang melandasi sistem ini, membuat para orang tua tidak memiliki bekal dalam mendidik anak. Di sisi lain, ideologi ini juga telah menggerus keharmonisan keluarga, berbagai permasalahan rumah tangga seperti: KDRT, perselingkuhan dan berbagai konflik lainnya sering menjadi penyebab runtuhnya bangunan rumah tangga hingga berujung perceraian. Oleh karenanya, ketika ingin menyolusikan masalah Fatherless ini tidak lain adalah dengan mencabut kapitalisme ini hingga ke akarnya.

Di dalam QS an Nisa ayat 34, Allah Swt. berfirman:
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) juga karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”
Syariat telah menetapkan bahwa laki-laki adalah pemimpin dan penanggung jawab keluarga. Ia kelak akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang ia pimpin.

Baik laki-laki dan perempuan, kelak akan dimintai tanggung jawab atas setiap amanah yang dibebankan kepadanya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam HR. Bukhari:
“Dan laki-laki adalah pemimpin anggota keluarganya dan ia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan istri adalah pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka.”

Pendidikan merupakan aspek penting yang harus diperhatikan seorang ayah. Kewajibannya bukan hanya harus memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Kewajiban mencari nafkah tidak boleh menyibukkan dirinya dari aktivitas mendidik anak. Sejatinya ia adalah wali bagi anak-anaknya, selama mereka belum balig baik laki-laki maupun perempuan, adalah tanggung jawabnya baik dari sisi jiwa maupun harta.

Kesibukan para ayah untuk mencari nafkah akan mampu terkendalikan ketika peran penguasa berjalan. Dengan terpenuhinya kebutuhan hidup secara murah bahkan gratis, tidak akan membuat mereka stress terbebani biaya pendidikan yang tinggi, kesehatan yang mahal dan lain sebagainya, karena semua telah dijamin negara. Sistem ekonomi yang kondusif akan mampu menyejahterakan rakyat secara merata. Sehingga para pencari nafkah akan fokus menjalankan perannya tanpa mengabaikan kewajiban mendidik anak-anaknya.

Dalam Islam, para ayah memang diwajibkan bekerja menafkahi keluarganya, tapi tidak berarti tenaganya diforsir untuk mencari materi. Waktu akan diatur berdasarkan akad yang adil dari pemberi kerja, sehingga masih ada waktu untuk berkumpul bersama keluarganya. Maka fenomena Fatherless pun akan bisa dicegah dan diatasi.

Hanya dalam Islam seluruh permasalahan kehidupan akan mampu tersolusikan. Yaitu melalui tegaknya hukum Allah Swt. secara menyeluruh di setiap aspek kehidupan, dalam sebuah sistem kepemimpinan.
Wallahu alam bisawwab

Editor: Hanin Mazaya

fatherless