Kapitalisme dan Jejak Luka Ekologis Sumatera: Islam Hadir dengan Sistem Tata Kelola Lingkungan yang Tegas serta Transparan

Oleh Hanin Mazaya
Senin, 1 Desember 2025 - 20.00
Kapitalisme dan Jejak Luka Ekologis Sumatera: Islam Hadir dengan Sistem Tata Kelola Lingkungan yang Tegas serta Transparan
Kapitalisme dan Jejak Luka Ekologis Sumatera: Islam Hadir dengan Sistem Tata Kelola Lingkungan yang Tegas serta Transparan

Bencana banjir serta longsor di Aceh dan Sumatra Utara menunjukkan bahwa kerusakan ekologis tidak lagi berada pada level lokal, melainkan telah menjadi krisis struktural. Hujan ekstrem memang menjadi pemicu awal, namun degradasi lingkungan, deforestasi masif, penambangan ilegal, serta konversi lahan berlebihan tampak memperparah daya rusak bencana. Ajaran Islam menetapkan manusia sebagai khalifah yang memikul tanggung jawab memelihara bumi. Perusakan alam menunjukkan pelanggaran terhadap prinsip tauhid, keseimbangan (mīzān), serta larangan fasād (kerusakan).

 

Tanggung Jawab Ekologis dalam Perspektif Teologi Islam
Kerangka etis Islam mengajarkan bahwa alam merupakan āyāt kauniyyah, tanda-tanda kekuasaan Allah. Pemanfaatan alam wajib mengikuti prinsip maslahat, keseimbangan ekologis, serta keadilan antargenerasi (intergenerational justice).

Hutan, air, dan mineral termasuk kategori milkiyyah ‘āmmah (kepemilikan umum) menurut fikih ekonomi Islam. Status tersebut berarti tidak boleh diberikan sebagai monopoli kepada korporasi, apalagi dieksploitasi tanpa kontrol negara.

Pemindahan kepemilikan umum kepada kapital swasta menimbulkan kerusakan ekologis dan melanggar maqāṣid al-syarī‘ah, khususnya hifẓ al-bi’ah (penjagaan lingkungan). Solusi Islami menekankan pemulihan tata kelola melalui penguatan regulasi, audit ekologi, serta penarikan izin yang tidak sesuai prinsip kelestarian.

 

Keadilan Ekologis dan Perlindungan Komunitas Rentan
Kerusakan hutan serta tambang ilegal menimbulkan ecological injustice. Komunitas lokal di Sumatera kehilangan hak atas lahan, sumber air, dan ekosistem penyangga. Syariah menegaskan bahwa setiap aktivitas yang mengancam keselamatan rakyat termasuk kategori ḍarar, yang wajib dicegah berdasarkan kaidah “al-ḍarar yuzāl” (bahaya harus dihilangkan).

Prinsip maslahah ‘āmmah menegaskan bahwa manfaat publik harus mengungguli kepentingan segelintir pemilik modal. Penerbitan izin tambang wajib melalui kajian environmental risk assessment, evaluasi daya dukung lingkungan (carrying capacity), serta persetujuan masyarakat sebagai pemilik ruang hidup. Regulasi berbasis syariah memberikan jaminan perlindungan terhadap hak ekologis masyarakat.

 

Pendidikan Lingkungan Berbasis Syariah sebagai Penguatan Kesadaran Publik
Pendidikan lingkungan (environmental literacy) berfungsi membentuk paradigma ekologis yang berkelanjutan. Pesantren serta madrasah dapat mengintegrasikan fiqh al-bi’ah sebagai materi pembelajaran untuk memperkuat karakter khalifah.

Penguatan etika ekologis dilakukan melalui:
* penegasan bahwa merawat lingkungan termasuk ibadah dan bentuk syukur
* pembiasaan perilaku konservatif seperti konservasi air, penghijauan, serta pencegahan pembalakan liar
* edukasi risiko bencana, konservasi keanekaragaman hayati, serta pengelolaan sampah berkelanjutan
Penguatan pendidikan ini membentuk generasi yang memahami bahwa pencemaran, eksploitasi, serta deforestasi merupakan tindakan yang bertentangan dengan syariah.

 

Kerangka Kebijakan dan Sanksi Syariah terhadap Pelaku Perusakan Lingkungan
Tata kelola lingkungan dalam perspektif Islam menuntut kehadiran negara sebagai pengelola utama kepemilikan umum. Mineral, hutan, air, serta sumber energi tidak boleh diserahkan kepada korporasi yang hanya mengejar akumulasi modal. Negara wajib mengelola langsung sumber daya untuk kepentingan rakyat dan menjaga keberlanjutan ekosistem.

Sanksi bagi pelaku perusakan lingkungan dalam konsep syariah dapat meliputi:
* Ta‘zīr: denda besar, pencabutan izin, serta larangan aktivitas usaha bagi korporasi perusak lingkungan
* Ganti rugi (ḍamān): kompensasi penuh kepada masyarakat yang terdampak banjir, longsor, atau kerusakan lahan
* Pemusnahan alat perusak lingkungan seperti alat berat ilegal
* Penjara bagi pelaku tambang ilegal, termasuk pejabat yang terlibat praktik korupsi perizinan
* Moratorium wajib pada wilayah yang mengalami kerusakan ekologis berat
* Rehabilitasi ekologis wajib yang mengikuti standar ecosystem restoration
* Hukuman publik (ta’dīb) bila kerusakan menimbulkan korban jiwa dan merugikan negara secara signifikan
Pendekatan syariah memberikan efek jera, bukan hanya sekadar denda administratif yang mudah dinegosiasikan oleh pemilik modal. Sanksi ini menjaga hak publik agar tidak dirampas oleh kepentingan ekonomi jangka pendek.

 

Penutup
Krisis ekologis Sumatera menjadi peringatan bagi seluruh masyarakat bahwa eksploitasi kapitalistik tidak memiliki daya menjaga keseimbangan alam. Islam menghadirkan konsep pengelolaan lingkungan yang menyatukan nilai teologis, etika publik, keadilan ekologis, pendidikan, serta sanksi hukum. Kerusakan hutan dan tambang ilegal merupakan bentuk penyimpangan dari prinsip khalifah serta pelanggaran terhadap kepemilikan umum.

Semoga pendekatan Islam kaffah melalui prinsip hifẓ al-bi’ah, keadilan ekologis, penegakan ta‘zīr, dan penguatan literasi lingkungan dapat memulihkan kondisi Sumatera serta mencegah kerusakan serupa pada masa mendatang. Semoga masyarakat memperoleh lingkungan yang sehat, negara memperoleh stabilitas ekologis, dan bumi kembali seimbang sebagai amanah Allah yang harus dijaga.

Editor: Hanin Mazaya

Opini