Konflik di Sudan tengah memanas, kelompok paramiliter RSF (Rapid Support Forces) yang dipimpin oleh Mohamed Hamdan Dagalo berhasil menguasai Kota Al-Fasher, Darfur Utara, benteng terakhir tentara nasional Sudan, yakni Sudan Armed Forces (SAF). Akibat pengepungan yang dilakukan oleh RSF tehadap kota Al-Fasher selama 18 bulan terakhir ini, mengakibatkan rakyat sipil menjadi korbannya.
RSF merupakan milisi yang dibentuk oleh Omar Al-Bashir, pemerintah Sudan pada tahun 2013, untuk memberantas etnis non-Arab. Konflik bermula saat adanya rencana pengintegrasian RSF ke dalam tubuh SAF yang notabenenya adalah tentara nasional. Namun, rencana tersebut ditolak oleh pemimpin RSF, Jenderal Hemedti, karena tidak ingin kedudukannya tergeser. Akhirnya sejak itulah terjadi konflik antara SAF dan RSF. Padahal sebelumnya mereka bersekutu dalam menggulingkan pemerintahan transisi di Sudan pada tahun 2021.
Menurut laporan dari bbc.com (5/11/2025), mereka merebut basis-basis kunci serta istana nasional di Khartoum. Namun upaya kudeta tersebut gagal. Sebaliknya, Khartoum menjadi zona perang saat pasukan rival bertempur dari jalan ke jalan. Kekerasan meletus di Darfur. Milisi RSF melakukan serangan kejam terhadap suku Masalit. PBB memperkirakan setidaknya 15.000 warga sipil di Sudan tewas. AS menggambarkan peristiwa itu sebagai genosida. Namun RSF membantah tuduhan itu.
Ternyata di balik konflik antara dua kelompok tersebut, ada perang proksi. Ada keterlibatan pihak asing di belakang keduanya dan tentu ada kepentingan di dalamnya. Menurut laporan Wall Street Journal yang dikutip Middle East Eye pada Oktober 2025, badan intelijen Departemen Pertahanan dan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat melaporkan adanya peningkatan pasokan senjata dari UEA kepada RSF. Pasokan itu mencakup drone buatan Cina, senjata ringan, artileri berat, kendaraan, dan amunisi. (Tempo.co/4-11-2025)
Sudan dalam Pusaran Kepentingan Kapitalis
Sudah menjadi tabiat negara-negara kapitalis menunggangi konflik yang terjadi di sebuah wilayah, termasuk dalam konflik Sudan. Negara-negara Barat menggunakan proksi untuk mengokohkan imperialisme mereka di Sudan.
Sebagaimana kita tahu, Sudan merupakan negara yang berlimpah akan kekayaan alamnya, seperti tembaga, minyak dan emas. Sudan juga menjadi negara yang memiliki letak geografis yang strategis. Oleh karena kekayaan alam yang melimpah itulah, Sudan menjadi rebutan negara-negara Kapitalis. Salah satunya dengan dibaginya Sudan menjadi dua bagian, yakni Sudan bagian selatan dan Sudan Utara oleh Inggris dengan memainkan narasi perbedaan etnis dan agama antara penduduk wilayah Selatan dan wilayah Utara: penduduk yang lebih "Arab" di Utara dan penduduk yang lebih "Afrika" di Selatan. Cengkeraman Inggris atas Sudan tersebut terjadi sejak direbutnya Sudan dari kekuasaan Khilafah Islamiyyah pada tahun 1898.
Pada akhirnya, dominasi Inggris terhadap Sudan melemah pasca AS mendesak lewat PBB agar negara-negara Eropa melepaskan negara-negara jajahannya. Sudan pun memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1956. Sejak itulah AS mengokohkan dominasinya di Sudan dengan memperkuat hubungan diplomatik di sana. Hingga akhirnya AS menguasai Sudan selatan lewat agennya, John Garang, Presiden Sudan Selatan. Perlu diketahui bahwa Sudan Selatan merupakan jalur strategis yang menghubungkan Chad, Libya dan Republik Afrika Tengah. Selain itu, di sana terdapat ladang minyak yang besar. Sebelum pemisahan, Sudan memproduksi sekitar 500.000 barel per hari, tetapi setelahnya kehilangan sekitar 75% cadangan minyaknya. Kini produksi hanya berkisar antara 30.000 hingga 60.000 barel per hari, dan infrastruktur minyak seperti kilang dan jaringan pipa banyak yang rusak akibat perang. Akibatnya, pemerintah terpaksa menerapkan kebijakan penghematan dan mengandalkan sumber pendapatan lain seperti pertambangan emas dan pajak pertanian.
Dan kini yang menjadi target AS adalah Darfur lewat proksinya RSF. Di sana terdapat cadangan berbagai jenis mineral, termasuk logam mulia, emas. Sebagaimana dilansir dari Kumparannews.com (4/11/2025) bahwa Sudan mencapai rekor produksi emas pada 2024 dengan total 64,4 ton emas dan menghasilkan pendapatan pemerintah sekitar USD 1,6 miliar.
Urgensi Hadirnya Khilafah
Sudan merupakan negeri muslim, sebanyak 90,7% dari total populasi Sudan adalah beragama Islam. Namun saat ini negeri tersebut dikuasai oleh orang-orang kafir Barat yang serakah. Hal tersebut tidaklah bisa dilepaskan dari ketiadaan pemimpinan global bagi kaum muslimin, yakni Khilafah Islamiyyah.
Negeri-negeri muslim tidak memiliki kekuatan, tercabik-cabik oleh kepentingan para kapitalis Barat. Kaum muslim menjadi korban pembantaian dan kebiadaban mereka yang rakus akan materi.
Benarlah apa yang disabdakan Rasulullah saw:
“Akan datang suatu masa di mana bangsa-bangsa akan mengerubungi kalian seperti orang-orang yang makan mengerubungi piring makanannya.” Seseorang bertanya, “Apakah karena jumlah kami yang sedikit saat itu?” Nabi ﷺ menjawab, “Tidak, bahkan jumlah kalian saat itu banyak, tetapi kalian seperti buih di air bah. Allah akan mencabut rasa takut terhadap kalian dari hati musuh-musuh kalian dan akan melemparkan dalam hati kalian penyakit ‘wahan’.” Seseorang bertanya, “Ya Rasulullah, apa itu ‘wahan’?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Abu Dawud, Hadits No. 4297)
Oleh karena itu, urgensi keberadaan Khilafah yang akan menjadi junnah dan pemersatu umat merupakan sebuah hal yang tak bisa ditawar lagi. Hanya dengan Khilafah, umat Islam mampu meraih posisi sebagai Khairu ummah alias umat terbaik, bukan menjadi objek penderita yang selalu dinistakan.
Tegaknya Khilafah adalah sebuah keniscayaan karena hal tersebut merupakan janji Allah ta'ala. Namun, posisi kita sebagai muslim akan dipertanyakan di Yaumil Akhir, sudahkah ikut berjuang mengembalikan tegaknya Khilafah dengan dakwah yang tanpa henti? Ataukah memilih diam dan menjadi penonton saja. Wallahu'alam bis shawwab
