Kuota Haji Dipangkas, Solusi Islam Layak Dibahas

Oleh Hanin Mazaya
Selasa, 2 Desember 2025 - 14.59
Kuota Haji Dipangkas, Solusi Islam Layak Dibahas
Kuota Haji Dipangkas, Solusi Islam Layak Dibahas

Kuota haji Kabupaten Bandung anjlok dari 2.546 (2024) menjadi 429 orang di tahun ini. Hal itu disebabkan oleh adanya UU No. 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah yang salah satu poinnya mengubah skema pembagiannya di tiap daerah. Alhasil, terjadi ketidakmerataan, ada yang berkurang kuotanya dan sebagian lainnya mengalami penambahan.

KBIHU Hudiyal Huda Cileunyi, Dedih Hidayat Taufik memberikan pernyataan bahwa pihaknya menghormati kebijakan baru yang telah disahkan tersebut, namun dirinya meminta pemerintah untuk meninjau kembali keputusan ini. Karena ada informasi awal yang memberikan gambaran bahwa kuota haji Kabupaten Bandung akan berada dikisaran 80 persen dari jumlah tahun sebelumya. Oleh karena itu, KBIHU mengundang 2.000 calon jemaah untuk mulai persiapan seperti cek kesehatan, perekaman biometrik, bio visa, manasik dan lain sebagainya. Inipun merupakan arahan dari pusat agar melakukan persiapan dari jauh hari.

Haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan bagi mereka yang sudah memiliki kemampuan baik secara fisik maupun materi. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim, menjalankan ibadah haji tentu merupakan impian dan cita-cita yang ingin dicapai. Karenanya banyak yang rela menabung sekian lama, dan tetap memutuskan berangkat meski telah berusia senja, semata demi mendapatkan pahala besar dibalik pelaksanaanya.

Hanya saja sistem pembiayaan haji saat ini begitu rumit, dengan jumlah muslim yang begitu besar, sementara kuota dari Saudi dibatasi. Padahal setoran awal yang relatif murah, dan tidak adanya batasan usia bagi yang ingin mendaftar, hal ini membuat antrian haji sangat panjang, bisa mencapai 47 tahun. Pemerintah berusaha untuk memperpendek waktu antrian dengan memberlakukan undang-undang yang baru agar masyarakat di setiap daerah merasa diperlakukan adil dalam keberangkatan. Namun perjalanannya masih panjang agar bisa terwujud dengan baik.

Pemerintah telah melakukan upaya untuk memperpendek daftar tunggu, yaitu dengan melakukan update data dengan cepat, melakukan diplomasi dengan Saudi agar kuota bisa ditambah, mengoptimalkan dana investasi di BPKH, mendorong masyarakat mengambil opsi Haji Khusus, mensosialisasikannya kepada masyarakat dan mengevaluasinya secara berkala. Sayangnya, akibat pemberlakuan yang terkesan tiba-tiba dan kurangnya sosialisasi pada masyarakat dan para pembimbing haji, membuat masyarakat mengalami kerugian, karena sudah melakukan persiapan, mengeluarkan uang, tenaga dan usaha namun harus menunda keberangkatannya.

Sebenarnya inti dari carut marut masalah haji hari ini adalah diberlakukannya sistem kapitalisme sekuler dalam kehidupan bernegara. Karena sistem tersebut orang yang belum masuk taklif haji bisa mendapatkan nomor urut keberangkatan haji, sedangkan orang yang daftar lebih lambat bisa jadi harus menunggu lebih lama meskipun sudah melunasi biayanya. Kalaupun ingin punya waktu antre yang relatif singkat calon jemaah harus membeli paket haji ONH Plus dengan harga 3-4 kali lebih mahal dibandingkan biaya reguler.

Dari gambaran tersebut maka pemerintah terkesan memberi kesempatan pada mereka dan bisa mendapat prioritas berangkat haji. Itu terlihat dalam undang-undang baru yang menambah kuota haji Plus dan mendorong agar diambil oleh para calon jemaah. Dengan demikian, pemasukan biaya haji yang diterima akan jauh lebih besar.

Sementara mereka yang kemampuan finansialnya di bawah harus rela uang yang mereka kumpulkan bertahun-tahun dimanfaatkan terlebih dahulu dalam skema investasi. Bentuknya berupa Deposito Syariah, Sukuk Negara, di simpan di Bank Syariah, investasi secara langsung, dan hal lainnya agar bisa menghasilkan keuntungan sehingga bisa menutupi kekurangan biaya haji. Meski negara mengklaim bahwa investasi yang dilakukan itu halal, namun banyak ekonom syariah yang mempertanyakan kehalalannya karena ada unsur subsidi silang antar jemaah, unsur riba dalam investasi dan bisa terjadi gharar dalam pelaksanaannya.

Jika ibadah didanai dengan sumber yang tidak jelas kehalalannya, tentu akan mengantarkan pada ketidakberkahan ibadah haji yang dijalankan. Inilah pengelolaan yang dilakukan pemerintah berdasarkan kapitalisme, standar Islam tidak menjadi soal yang penting pemerintah bisa mendapatkan dana yang besar untuk dimanfaatkan bagi pembangunan. Karena sistem rusak ini hanya menilai sesuatu dari manfaat yang bisa diraih, maka ibadah pun jadi ajang untuk mengumpulkan materi.

Kapitalisme berbeda dengan kepemimpinan Islam yang pernah dijalankan selama 14 abad lalu, memandang bahwa ibadah itu harus dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan ketentuan syariah. Ibadah haji hanya akan dibebankan pada mereka yang mampu saja, sedangkan mereka yang belum mampu akan tetap dimotivasi agar sanggup menjalankan ibadah yang mulia ini. Negara tidak akan mengumpulkan uang jamaah haji demi investasi, sebaliknya negara akan mengeluarkan dana dari kas negaranya untuk mempermudah pelaksanaan ibadah haji.

Sejarah pernah mencatat bagaimana para khalifah seperti Umar bin Khaththab ra., Harun Al-Rasyid, Abdul Hamid II dan yang lainnya mampu membuat jalur haji yang aman bagi jemaah, menyediakan penginapan gratis, air bersih, klinik dan tenaga kesehatan, transfortasi darat dan laut, perbaikan mesjid. Semua dananya berasal dari baitulmal tanpa memungut biaya dari jemaah kecuali ongkos masing-masing. Umat Islam tidak perlu mengurus paspor atau visa karena cakupan wilayah daulah yang begitu luas memungkinkan perjalanan haji seperti perjalanan antar provinsi saja, sehingga birokrasinya murah dan tidak merepotkan.

Muslim di Nusantara juga pernah merasakan berbagai manfaat itu, sejak Kesultanan Aceh, Demak, Mataram, Ternate, dan kerajaan lainnya menjalankan hubungan diplomatik dengan Daulah Utsmaniyah. Mereka bisa merasakan perjalanan aman, akses air dan makanan yang murah, tempat istirahat yang nyaman, izin belajar, bahkan izin tinggal tanpa harus mengurus visa dan yang lainnya hingga bisa mendalami Islam dengan baik dan menyebarkannya ke kampung halaman.

Maka meskipun minat haji sangat besar antrean panjang tidak akan terjadi karena; Pertama, jamaah datang secara bertahap, tidak mendadak menumpuk dalam waktu bersamaan. Kedua, Tidak semua umat Islam bisa berangkat, hanya mereka yang mampu secara fisik, punya waktu panjang dan bekal yang cukup saja yang bisa berangkat. Ketiga, kapasitas tempat haji bisa dimaksimalkan oleh khalifah. Keempat, tidak ada regulasi ketat yang mengatur berapa lama jemaah akan tinggal di Mekah.

Begitulah pemimpin dalam Islam mampu mengatur urusan haji dengan sebaiknya, itu karena seorang pemimpin adalah raain yang akan mengurus urusan umat hanya karena amanah dari Allah Swt. Sebagaimana sebuah hadis yang menyatakan bahwa:

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Maka seorang imam (pemimpin negara) adalah penggembala, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya…”(HR. Bukhari dan Muslim)

Wallaahu a’lam bis shawaab

Editor: Hanin Mazaya

Opini