“Lonely in the Crowd: Ramai di Dunia Maya, Sepi di Dunia Nyata”

Oleh Syifa MuthmainnahSantriwati PPTQ Daarul Bayan, Sumedang
Selasa, 21 Oktober 2025 - 17.46
“Lonely in the Crowd: Ramai di Dunia Maya, Sepi di Dunia Nyata”
“Lonely in the Crowd: Ramai di Dunia Maya, Sepi di Dunia Nyata”

Pernah gak sih kamu ngerasa rame banget di timeline? Notif nggak berhenti bunyi, ada yang komen, like, bahkan DM masuk bertubi-tubi, tapi entah kenapa hati masih kerasa kosong. Padahal, kalau dilihat sekilas, kayaknya hidup kita penuh interaksi, banyak temen, dan gak pernah sepi. Tapi kok anehnya, walaupun banyak notif justru kita masih ngerasa hampa. Ternyata fenomena ini nyata banget, dan istilah kerennya disebut lonely in the crowd alias kesepian di tengah keramaian. Kelihatannya remeh, tapi kalau dipikir-pikir, kondisi ini bisa berdampak besar ke kesehatan mental dan kualitas hidup kita sehari-hari.

Menariknya, fenomena ini udah diteliti sama mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY. Mereka bikin riset dengan judul panjang: “Loneliness in the Crowd: Eksplorasi Literasi Media Digital pada Fenomena Kesepian di TikTok melalui Konfigurasi Kajian Hiperrealitas Audiovisual.” Hasilnya lumayan nyentil, karena mereka nemuin kalau dunia digital itu bisa bikin emosi dan perasaan jadi lebih intens daripada dunia nyata. Bayangin aja, kita bisa ngakak sampe sakit perut gara-gara video receh, bisa nangis kejer liat konten sedih, atau tiba-tiba ngerasa deket banget sama orang asing yang bahkan belum pernah kita temui. Kedekatan kayak gini sebenarnya cuma ilusi, tapi sering bikin kita lupa sama hubungan nyata di dunia offline.

Nah, masalahnya muncul pas HP dimatiin. Suasana yang tadinya rame banget di layar langsung berubah drastis. Ngobrol sama keluarga malah kerasa hambar, ketemu temen jadi kaku, dan sering kali kita bingung harus ngomong apa. Akhirnya, rasa sepi itu makin terasa, walaupun barusan aja kita “bergaul” sama ribuan orang di dunia maya. Ironis banget, kan? Seolah-olah dunia digital bikin kita punya banyak koneksi, tapi nyatanya yang ada cuma perasaan kosong yang nggak bisa ditutupi dengan like atau komentar.

Gen Z, yang katanya "si paling melek teknologi", justru jadi yang paling gampang kena imbasnya. Mereka terbiasa hidup dengan media sosial sejak kecil, tapi dampaknya gak selalu positif. Banyak dari mereka jadi insecure karena ngebandingin diri sendiri sama orang lain di medsos, gampang cemas kalau gak dapet respon, bahkan ada yang sampai mengalami gangguan kesehatan mental. Padahal, kalau dipikir, Gen Z ini punya energi gede banget buat berkarya, punya ide segar buat perubahan, dan bisa jadi motor penggerak umat. Sayangnya, semua potensi itu sering kali kebentur sama rasa kesepian dan tekanan dunia maya yang gak ada habisnya.

Kalau dilihat lebih jauh, semua ini gak lepas dari sistem sekuler liberal yang kita jalani. Sistem ini bikin kebebasan individu dan keuntungan materi jadi segalanya, sedangkan urusan nilai dan akhlak malah dikesampingkan. Industri kapitalis di balik media sosial juga gak peduli sama kesehatan mental pengguna. Yang penting algoritma jalan, klik dan views naik, profit mengalir. Wajar aja kalau akhirnya orang-orang jadi makin asosial, susah ngobrol tatap muka, bahkan dalam lingkup keluarganya sendiri. Hubungan yang harusnya hangat malah jadi dingin, diganti sama sekadar angka likes dan komentar di layar.

Kalau terus dibiarin, dampaknya jelas merugikan umat. Generasi muda yang seharusnya bisa jadi harapan malah tumbuh jadi generasi yang rapuh. Mereka jadi pasif, gak punya arah, sibuk ngejar validasi semu, dan akhirnya lupa sama masalah nyata yang menimpa umat. Padahal, kalau mereka sadar, potensi yang dimiliki itu luar biasa besar. Sayangnya, semua terkikis sama kesepian yang gak kelihatan, tapi pelan-pelan bikin mereka kehilangan kepedulian.

Makanya, kita sebagai masyarakat harus melek dengan kondisi ini. Jangan sampai terlena sama dunia maya yang kelihatan menyenangkan tapi diam-diam nguras jiwa. Medsos itu bukan musuh, tapi kalau dipakai tanpa kendali, efeknya bisa bikin kita makin jauh dari interaksi nyata dan makin terjebak dalam kesepian. Kalau terus-terusan kayak gini, yang rugi bukan cuma individu, tapi umat secara keseluruhan. Kesadaran bareng-bareng penting banget, karena masalah kayak gini gak bisa diselesain sendirian.

Di sinilah Islam punya peran besar. Kalau Islam dijadikan identitas utama, kita bakal punya pegangan yang jelas dalam berinteraksi, baik online maupun offline. Islam ngajarin kita supaya setiap aktivitas punya makna, bukan sekadar hiburan kosong. Dengan standar dari Islam, kita bisa bedain mana yang bener-bener manfaat dan mana yang justru ngerusak. Hidup jadi lebih tenang, interaksi jadi lebih sehat, dan gak gampang kebawa arus. Nah, pertanyaannya sekarang: gimana seharusnya?

Pertama, jangan kira masalah ini bisa selesai cuma dengan saran-saran klasik kayak “gunakan medsos secara bijak” atau “atur screen time”. Jujur aja, itu cuma tambal sulam. Selama sistem besar yang menopang dunia digital masih kapitalis-sekuler, manusia bakal terus diposisikan sebagai objek industri. Kita bukan lagi manusia dengan kebutuhan jiwa dan akal, tapi sekadar data yang dimanfaatkan buat cuan. Jadi, solusinya harus lebih dari sekadar pengingat harian.

Kedua, Islam hadir dengan solusi yang menyeluruh. Aturan Islam gak cuma soal ibadah personal, tapi juga ngatur interaksi sosial, pemanfaatan teknologi, sampai arah peradaban. Semua aktivitas punya tujuan jelas: ibadah kepada Allah dan manfaat buat umat. Kalau prinsip ini diterapin, media sosial bisa berubah fungsi. Dari yang tadinya sumber kesepian, jadi sarana buat berdakwah, edukasi, berbagi ilmu, bahkan memperkuat ikatan sosial. Dunia digital gak lagi bikin kita hampa, tapi justru jadi ladang pahala.

Ketiga, negara juga gak bisa lepas tangan. Negara yang berlandaskan Islam bakal ngatur arus informasi dan media biar nggak ngerusak akhlak masyarakat. Regulasi dibuat bukan buat kepentingan segelintir kapitalis, tapi demi ngejaga generasi muda biar tetap sehat, produktif, dan punya kontribusi nyata buat umat. Coba bayangin kalau konten-konten di media lebih banyak yang bawa nilai positif, edukatif, dan membangun peradaban. Generasi muda pasti tumbuh lebih kuat, lebih visioner, dan gak gampang terjebak kesepian.

Jadi jelas, fenomena lonely in the crowd ini bukan sekadar masalah pribadi atau kurangnya literasi digital. Akar masalahnya ada pada sistem sekuler liberal yang bikin manusia kehilangan arah. Islam satu-satunya solusi yang bisa bener-bener nyelametin kita dari jebakan ini. Karena Islam gak cuma ngatur individu, tapi juga masyarakat dan negara. Kalau Islam diterapkan secara utuh, generasi muda gak akan jadi generasi rapuh yang sibuk cari validasi semu. Mereka bakal tumbuh jadi generasi tangguh, punya arah jelas, dan siap bawa perubahan besar buat umat dan peradaban.

Editor: Hanin Mazaya

media sosialdunia maya