Membongkar Jejak ISIS di Suriah: Dinamika Sektarian dan Strategi Kontra-Radikalisasi

Oleh Samir Musa
Sabtu, 9 Agustus 2025 - 15.26
Membongkar Jejak ISIS di Suriah: Dinamika Sektarian dan Strategi Kontra-Radikalisasi
Membongkar Jejak ISIS di Suriah: Dinamika Sektarian dan Strategi Kontra-Radikalisasi

(Arrahmah id) - Operasi besar-besaran yang digelar pasukan keamanan Suriah di wilayah Harem, Idlib, pada Agustus 2025 menandai babak baru dalam upaya membongkar sisa-sisa sel ISIS yang masih aktif. Penangkapan sejumlah militan yang terlibat dalam pembunuhan warga Syiah Irak, serta penyitaan gudang senjata, menunjukkan bahwa ancaman ekstremisme belum sepenuhnya padam. Di balik operasi ini tersimpan dinamika sektarian yang kompleks dan strategi kontra-radikalisasi yang terus berevolusi.

ISIS, atau Daulah Islamiyah, berakar dari kelompok Al-Qaeda in Iraq (AQI) yang didirikan oleh Abu Musab al-Zarqawi pada awal 2000-an. Setelah kematian al-Zarqawi, kelompok ini berevolusi menjadi Islamic State of Iraq (ISI), lalu menyebar ke Suriah pada 2011 dengan memanfaatkan kekacauan akibat perang sipil. Abu Bakr al-Baghdadi mengirim pasukan ke Suriah dan awalnya bergabung dengan Jabhat al-Nusra. Namun, pada 2013, ISIS secara resmi memisahkan diri dan mendeklarasikan eksistensinya sebagai entitas jihad global.

Puncak kekuasaan ISIS terjadi antara 2014 hingga 2016, ketika mereka menguasai Raqqa dan Mosul serta mendeklarasikan kekhalifahan. Kekejaman ISIS terhadap komunitas Yazidi, suku Sheitaat, dan eksekusi sandera asing menjadi simbol teror global. Namun sejak 2017, kekuatan teritorial ISIS mulai runtuh akibat serangan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) dan koalisi internasional. Meski demikian, sel-sel tidur dan jaringan bawah tanah mereka tetap aktif, terutama di wilayah seperti Idlib.


Peran Jabhat al-Nusra dan HTS dalam Melawan ISIS

Jabhat al-Nusra, yang didirikan pada 2011 sebagai cabang Al-Qaeda di Suriah, memainkan peran penting dalam melawan ISIS. Meskipun sama-sama mengusung ideologi jihad, Nusra menolak pendekatan kekhalifahan global ala ISIS dan lebih fokus pada perjuangan lokal melawan rezim Assad. Konflik antara Nusra dan ISIS pecah sejak 2013, terutama dalam perebutan wilayah dan pengaruh ideologis.

Pada 2016, Nusra memutus hubungan dengan Al-Qaeda dan membentuk Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) di bawah kepemimpinan Abu Muhammad al-Julani. HTS menjadi kekuatan dominan di Idlib dan berperan sebagai pemerintahan lokal de facto. Mereka mengadopsi strategi “sistem, bukan organisasi” yang dipopulerkan oleh Abu Mus’ab al-Suri, memungkinkan operasi yang lebih fleksibel dan desentralistik. HTS secara aktif memerangi ISIS, baik secara militer maupun ideologis, serta berupaya membangun struktur pemerintahan yang lebih stabil di wilayah kekuasaannya.


Strategi Kontra-Radikalisasi: Dari Militer ke Narasi

Strategi kontra-radikalisasi di Suriah tidak hanya mengandalkan pendekatan militer. Pemerintah Suriah, bersama mitra internasional, terus melakukan operasi terhadap sel-sel ISIS, termasuk penangkapan tokoh senior dan pembongkaran jaringan logistik. Namun, pendekatan ini sering kali tidak cukup untuk mengatasi akar ideologis radikalisme.

HTS, meskipun kontroversial, memainkan peran dalam membangun kontra-narasi terhadap ISIS. Mereka menolak kekerasan indiscriminatif dan lebih menekankan pendirian negara Islam lokal yang berbasis pada struktur sosial serta hukum yang dapat diterima masyarakat. Di sisi lain, pemerintah Suriah berupaya mengedukasi masyarakat melalui program deradikalisasi, meski efektivitasnya masih dipertanyakan.

Operasi kontra-ISIS di Idlib juga memperkuat ketegangan sektarian yang telah lama membayangi konflik Suriah. ISIS secara eksplisit menargetkan komunitas Syiah dan Alawi, yang dianggap sebagai musuh ideologis. Serangan terhadap warga Syiah Irak di Salqin, Azzmarin, dan Kaftin menunjukkan bahwa dimensi sektarian tetap menjadi motif utama aksi teror mereka.

Konflik sektarian ini diperparah oleh perang proksi antara Iran dan Arab Saudi. Iran mendukung rezim Assad dan milisi Syiah seperti Hizbullah, sementara Arab Saudi mendukung kelompok oposisi Sunni. Rivalitas ini memperumit upaya rekonsiliasi dan memperpanjang konflik. Di tengah fragmentasi oposisi, HTS berusaha menjadi aktor stabilisasi, meski legitimasi mereka masih diperdebatkan.


Refleksi Akademik: Rekonstruksi Pasca-Konflik dan Narasi Baru

Operasi pembongkaran sel ISIS di Idlib bukan sekadar tindakan keamanan, melainkan bagian dari proses rekonstruksi pasca-konflik yang kompleks. Langkah ini membuka ruang bagi reformulasi narasi jihad yang lebih kontekstual dan inklusif, serta pemetaan ulang identitas sektarian dalam kerangka rekonsiliasi nasional. Peran aktor lokal seperti HTS, meski kontroversial, tidak bisa diabaikan dalam proses stabilisasi dan pembangunan struktur sosial baru.

Dalam konteks studi perdamaian dan rekonstruksi, Suriah menjadi laboratorium ekstrem untuk menganalisis hubungan antara kekerasan ideologis, identitas sektarian, dan strategi kontra-radikalisasi. Pendekatan yang menggabungkan antropologi politik, sejarah konflik, dan studi Islam kontemporer menjadi kunci untuk memahami dinamika yang terus berkembang di wilayah ini.[]

(*/arrahnah.id)

Editor: Samir Musa

Geopolitik