Mengapa Ibadah Yahudi di Masjid Al-Aqsha Memicu Kontroversi?

Oleh Zarah Amala
Senin, 4 Agustus 2025 - 09.00
Mengapa Ibadah Yahudi di Masjid Al-Aqsha Memicu Kontroversi?
Mengapa Ibadah Yahudi di Masjid Al-Aqsha Memicu Kontroversi?

(Arrahmah.id) - Dalam beberapa tahun terakhir, pemandangan pemukim ultranasionalis 'Israel' memasuki kompleks Masjid Al-Aqsha di Yerusalem Timur yang diduduki telah menjadi hal yang semakin sering terjadi. Aksi-aksi ini kerap memancing kemarahan warga Palestina serta umat Muslim di seluruh dunia.

Kompleks Masjid Al-Aqsha, atau yang juga dikenal sebagai al-Haram al-Sharif, berada di atas bukit yang oleh umat Yahudi disebut Temple Mount, atau Bukit Bait Suci.

Selama berabad-abad, termasuk oleh pemerintahan 'Israel' sendiri, umat Yahudi dilarang berdoa di halaman Masjid Al-Aqsha. Larangan ini tetap menjadi isu sensitif, bukan hanya bagi umat Muslim, tapi juga bagi sebagian besar umat Yahudi yang taat.

Mengapa Tempat Ini Begitu Penting?

Bagi umat Yahudi, Temple Mount adalah tempat paling suci dalam ajaran mereka. Diyakini bahwa di sanalah berdiri dua Bait Suci yang menjadi pusat kehidupan keagamaan bangsa Yahudi pada zaman kuno. Kini, satu-satunya peninggalan dari Bait Suci Kedua, yang dibangun oleh Herodes Agung dan dihancurkan oleh Romawi pada 70 M, adalah Tembok Ratapan, yang kini menjadi lokasi doa paling suci bagi umat Yahudi.

Namun di atas bukit itu kini berdiri Masjid Al-Aqsha yang megah, yang terdiri dari halaman luas, ruang ibadah, dan beberapa tempat suci, termasuk Kubah Batu yang beratap emas. Al-Aqsha merupakan salah satu situs tersuci dalam Islam.

Selama masa Kesultanan Utsmaniyah, yang menguasai Yerusalem dari 1517 hingga awal abad ke-20, penguasa berusaha keras menjaga agar konflik sektarian tidak meletus, tidak hanya antara Muslim dan Yahudi, tapi juga antara berbagai sekte Kristen yang mengklaim hak atas situs-situs suci.

Pada 1757, Sultan Osman III menetapkan “Status Quo”, sebuah kesepakatan yang menjaga pembagian pengelolaan situs-situs suci di kota tersebut. Di dalamnya ditegaskan kembali larangan bagi non-Muslim untuk memasuki Al-Aqsha dan menetapkan hak umat Yahudi untuk berdoa di Tembok Ratapan.

Sejak 1921, Rabbinate Agung Yerusalem bahkan secara resmi melarang umat Yahudi untuk menginjakkan kaki di Temple Mount, kecuali dalam kondisi kesucian ritual tertentu, sesuatu yang dianggap mustahil dilakukan saat ini karena ketiadaan "lembu merah" yang abu pembakarannya dibutuhkan dalam ritual pemurnian.

Kapan Kontroversi Dimulai?

Setelah 'Israel' merebut Kota Tua Yerusalem dari Yordania dalam Perang Enam Hari 1967, kontrol terhadap situs-situs suci, termasuk Al-Aqsha, menjadi tanggung jawab otoritas 'Israel', meski pengelolaan keagamaan tetap dipercayakan pada Yordania.

Sejak saat itu, muncul dorongan dari kelompok-kelompok Yahudi religius untuk diizinkan berdoa di Temple Mount. Meski secara resmi pemerintah 'Israel' mempertahankan Status Quo, tekanan politik dari kelompok religius nasionalis semakin kuat.

Sejumlah kelompok bahkan menyerukan pembangunan Bait Suci Ketiga di atas situs Al-Aqsha, yang mereka yakini akan membawa kedatangan Mesias dan Hari Penghakiman. Meski pandangan ini masih minoritas, pengaruhnya makin terasa dalam politik 'Israel' kontemporer.

Salah satu insiden paling memicu terjadi pada 28 September 2000, ketika Ariel Sharon, saat itu pemimpin oposisi 'Israel', mengunjungi kompleks Al-Aqsa dengan pengawalan lebih dari seribu polisi. Aksi ini memicu kemarahan luas dan memicu Intifada Kedua yang berlangsung selama lima tahun dan menewaskan lebih dari 3.000 warga Palestina serta lebih dari 1.000 warga 'Israel'.

Siapa yang Mendorong Ibadah Yahudi di Al-Aqsa Saat Ini?

Beberapa kelompok seperti Temple Mount Faithful, Temple Institute, dan Yaraeh secara terbuka menyerukan hak umat Yahudi untuk beribadah di Temple Mount dan membangun Bait Suci Ketiga.

Tokoh politik sayap kanan seperti Itamar Ben-Gvir, menteri keamanan nasional 'Israel', terang-terangan mendukung agenda ini. Ia bahkan menyebut larangan berdoa bagi Yahudi di situs itu sebagai bentuk "apartheid". Sebelumnya, ia sempat ditangkap karena meneriakkan slogan religius saat berada di kompleks Al-Aqsha.

Yehuda Glick, mantan anggota parlemen dari partai Likud dan pemimpin organisasi HaLiba, menjadi salah satu tokoh paling vokal dalam isu ini. Ia mengklaim bahwa larangan berdoa adalah bentuk diskriminasi agama, dan bahwa ia memperjuangkan "kebebasan sipil" bagi umat Yahudi.

https://twitter.com/samer3433/status/1952066052201808191

Mengapa Warga Palestina Menentang?

Bagi warga Palestina, persoalan ini bukan hanya soal agama, tapi juga soal kekuasaan. Yerusalem Timur, termasuk kompleks Al-Aqsha, secara hukum internasional masih dianggap wilayah pendudukan, meski dianeksasi 'Israel'.

Warga Palestina di wilayah ini secara hukum tidak memiliki kewarganegaraan, hanya berstatus penduduk tetap, dan status ini pun bisa dicabut kapan saja. Rumah-rumah mereka sering digusur, izin pembangunan jarang diberikan, dan akses terhadap layanan publik terbatas.

Di tengah semua ini, Al-Aqsha menjadi simbol utama keberadaan Islam dan identitas nasional Palestina di Yerusalem. Ketika kelompok ultranasionalis Yahudi menyerukan peningkatan kehadiran di situs itu, warga Palestina melihatnya bukan sekadar tuntutan keagamaan, melainkan upaya pengambilalihan situs yang menjadi jantung spiritual dan politik mereka.

Sementara itu, kelompok Yahudi bisa beribadah dengan pengawalan militer, umat Muslim Palestina kerap dibatasi, diperiksa, bahkan ditahan saat hendak beribadah di situs yang mereka yakini sebagai tempat suci ketiga dalam Islam.

Situasi Saat Ini

Meski secara resmi larangan masih berlaku, kenyataannya saat ini puluhan umat Yahudi dapat berdoa secara terbuka setiap hari di sisi timur kompleks Al-Aqsha, di bawah perlindungan polisi 'Israel'. Menurut kelompok Beyadenu, pada 2022 saja, lebih dari 51.000 umat Yahudi telah mengunjungi situs tersebut, angka yang memecahkan rekor.

Di tengah meningkatnya ketegangan dan ketimpangan kekuasaan, Al-Aqsa tetap menjadi titik api yang bisa memicu konflik besar kapan saja. (zarahamala/arrahmah.id)

Editor: Zarah Amala

Artikel