Mengharap Pendidikan Beradab

Oleh Desti RitdamayaPraktisi Pendidikan
Selasa, 28 Oktober 2025 - 16.52
Mengharap Pendidikan Beradab
Mengharap Pendidikan Beradab

Memanusiakan manusia katanya hakikat pendidikan tapi pendidiknya dianggap sebelah mata

Memberdayakan akal dan budi katanya nilai pendidikan tapi yang didik tak bestari

Polemik SMAN 1 Cimarga sudah mereda. Berakhir damai secara kekeluargaan antara kepala sekolah dengan siswa dan orang tuanya. Kepala sekolah diaktifkan kembali untuk bertugas dan siswa tersebut kembali bersekolah seperti semula. Tapi dari kasus ini adakah yang sadar bahwa pergeseran hakikat dan nilai pendidikan nyata terjadi. Bahkan semakin menuju pada eliminasi hakikat dan nilai pendidikan itu sendiri.

Polemik SMAN 1 Cimarga potret epidemi niradab siswa pada guru dan kriminalisasi guru oleh orang tua siswa yang bermasalah. Kasus serupa tersebar di sekolah lain yang tentu saja menyesakkan dada. Tak terhitung lagi siswa yang menghina, membully, memaki, menantang guru. Bahkan ada yang mengajak berkelahi, menganiaya dan membunuh guru.

Dalam dua minggu terakhir viral media massa melansir orang tua siswa melaporkan guru ke pihak kepolisian lantaran dianggap pencemaran nama baik siswa. Orang tua mengklaim guru telah menuduh anaknya menggunakan narkoba dengan bukti tes urine anaknya negatif narkoba. Sebaliknya guru memiliki bukti rekaman pengakuan siswa sendiri tanpa tekanan telah menggunakan narkoba di lingkungan sekolah.

Sebulan lalu kepala sekolah di Prabumulih sempat dicopot lantaran menegur siswa anak pejabat setempat yang membawa mobil ke sekolah. Pun masih segar dalam ingatan polemik setahun lalu menimpa Supriyani guru honorer di Konawe Selatan. Beliau dilaporkan oleh orang tua siswa lantaran dituduh telah menganiaya anaknya hingga terluka.

Patut bertanya apa dosa pendidikan hari ini sehingga niradab anak dan orang tua tak kunjung berhenti?

 

Niradab Buah Pendidikan Tak Berstandar Iman

“Aku adalah budak bagi siapapun yang mengajarkanku ilmu walau hanya satu huruf”. Ini adalah quote Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Quote ini memiliki makna yang mendalam. Tak akan keluar quote seperti demikian kecuali dari orang yang menyadari hakikat dirinya sebagai ciptaan Allah. Menyadari kehidupan adalah bakti dan pengabdian (ibadah) pada Sang Pencipta. Kebutuhan dirinya pada ilmu yang mengarahkan akal, jiwa, lisan dan perbuatan dalam menggapai ridhaNya. Baginya ilmu adalah pilar keimanan dan ketakwaan padaNya.

Baginya sang guru adalah pembawa lentera ilmu. Pembimbing untuk memahami petunjuk (al huda) dari Allah SWT. Penasihat ketika terjatuh pada khilaf oleh hawa nafsu. Sang guru mencurahkan pikiran, waktu dan tenaga agar keimanan dan ketakwaan melekat pada dirinya. Sudah selayaknya dirinya menghargai dan beradab pada guru. Agar keberkahan ilmu senantiasa mewarnai hidupnya. Paradigma ini kerangka mendasar dalam pendidikan berasaskan pada akidah Islam.

Sayangnya sistem pendidikan negeri ini belum berasas pada akidah Islam. Masa awal kemerdekaan dalam UU No 4/1950 tak mewajibkan pelajaran agama. Hingga terbit UU No 2/1989 yang mewajibkan pelajaran agama. Tapi jam pelajaran agama minimalis dibandingkan pelajaran sains dan sosial. Ditelisi lebih mendalam konten pelajaran agama pun hanya terkait ibadah ritual saja bukan syari’at Islam secara kaffah (menyeluruh dan komprehensif). Bahkan yang miris muncul opini Islam sarang terorisme dan ekstremisme yang menciutkan nyali untuk mengkaji Islam kaffah.

Ya harus diakui sistem pendidikan negeri ini berasas sekulerisme (memisahkan agama dari kehidupan publik) berstandar pada manfaat (materialisme). Ilmu dipelajari untuk mendapatkan materi baik berupa nilai, gelar (ijazah), pekerjaan atau kepuasan akal semata.

Proses pendidikannya menempatkan siswa sebagai subjek aktif berdalih pemenuhan hak asasi. Memberikan kebebasan pada siswa untuk belajar sesuai dengan keinginan. Guru yang harus memaklumi dan menyesuaikan diri dengan karakter belajar siswa. Kedudukan guru dianggap sebagai pentransfer, fasilitator atau motivator ilmu. Guru jika dibutuhkan siswa ada penghormatan, jika tak dibutuhkan nama pun tak dikenang.

Wajar adab siswa pada guru dianggap tak penting. Keberkahan ilmu dianggap tak bernilai. Output pendidikan yang dihasilkan bersifat individualis dan kapitalistik.  Berbagai kasus siswa melawan guru sampai membunuh guru termasuk kriminaliasi guru oleh orang tua adalah bukti nyata dari pendidikan berasas sekuler.

 

Butuh Perubahan Sistem Pendidikan

“Seorang mukmin tidak boleh jatuh ke satu lubang dua kali”. Demikianlah nasihat agung dari Sang pendidik umat terbaik sepanjang masa. Nasihat Rasulullah SAW tersebut harusnya menjadi pegangan umat untuk tak membiarkan sistem pendidikan terus berjalan dengan asas sekulerisme yang terbukti gagal. Karena para pakar kerap angkat suara bahwa saat Indonesia berusia emas, ouput pendidikan amat mencemaskan. Tak hanya dilihat dari minimnya adab. Tapi kompetensi literasi, numerasi dan sains yang berapor merah di bawah rata-rata standar internasional. Visus bagi berakal cerdas akan mengaminkan sistem pendidikan hari ini butuh perubahan mendasar dan menyeluruh dengan berstandar Islam.

Rasulullah SAW sudah mewariskan sistem pendidikan berasas akidah Islam beserta tujuan, metode, kurikulum dan pembiayaan yang terikat syari’atNya. Para khulafaur rasyidin dan para khalifah setelahnya selama 13 abad dalam sistem Islam kaffah sudah menjalankan sistem pendidikan tersebut.

Metode pendidikan Islam mengintegrasikan aqliyah dan nafsiyah Islamiyyah. Tujuan pendidikan untuk membangun kepribadian Islam dan mempersiapkan siswa menjadi ‘alim ulama baik terkait tsaqafah Islam maupun sains teknologi. Output pendidikan pun akan berlomba-lomba memanfaatkan dan menyebarkan ilmu bermanfaat bagi kemashlahatan umat sebagai amal jariyah.

Kurikulumnya berdasarkan wahyu Allah. Kurikulum terkait akidah Islam menjadi topik pertama dan utama. Akidah Islam harus terhunjam terlebih dahulu pada setiap jiwa siswa. Selanjutnya materi tsaqafah Islam lainnya dan sains teknologi. Tak diperbolehkan mempelajari materi yang bertentangan dengan Islam kecuali untuk dijelaskan kesalahannya. Dengan kurikulum ini Rasulullah SAW berhasil mendidik para shahabat menjadi khaira ummah (umat terbaik). Allah SWT berfirman :

كَمَآ أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِّنكُمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْكُمْ ءَايَٰتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُوا۟ تَعْلَمُونَ

Artinya: Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui (QS. Al Baqarah ayat 151).

Islam juga menuntun negara untuk memberikan pelayanan terbaik dalam sarana, prasarana, pembiayaan pendidikan bagi rakyatnya. Landasan hukumnya hadits Imam Bukhari yang diriwayatkan dari Ibnu Umar yang mengatakan Nabi SAW bersabda: Imam adalah (laksana) penggembala (pelayan). Dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya”.

Sejarawan Tim Wallace-Murphy dalam bukunya What Islam Did For Us secara objektif mengulas kontribusi pendidikan Islam terhadap bangkitnya intelektualitas dan peradaban. Di abad pertengahan sistem Islam kaffah menjadi mercusuar pendidikan karena mencapai peradaban tertinggi dalam sains, teknologi, dan tsaqafah. Namun sayang kegemilangan pendidikan Islam ditutup dan dikubur sejarahnya.

Apakah muslim masih ragu hanya sistem pendidikan Islam yang dapat memanusiakan manusia dan menjadikan siswa memberdayakan akal dan budi?

Wallahu a’lam bis-shawwab

Editor: Hanin Mazaya

pendidikansekulerismeadab