Akibat keranjingan judi dan pinjaman online seorang siswa SMP di Kokap, Kulon Progo, DI. Yogyakarta mogok sekolah selama satu bulan. Sekretaris Disdikpora Kulon Progo, Nur Hadiyanto menerangkan siswa tersebut tidak sekolah lantaran malu pada teman-temannya karena meminjam uang sebesar Rp4 juta untuk judol dan mencicil pinjol. Ia takut tidak bisa membayar utang. (Tirto.co.id, 29/10/2025)
Atas kasus ini Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyebut hal tersebut bukti kegagalan sistem pendidikan dan pengasuhan karakter, bukan karena kegagalan individu. Karenanya, JPPI mendesak agar pemerintah segera mengambil langkah komprehensif untuk mengatasi judol di kalangan pelajar seperti melakukan pemblokiran situs serta aplikasi judol. JPPI pun menekankan perlu adanya pendidikan karakter dan kesehatan mental guna menjaga dari ancaman digital. (Antaranews, 24/10/2025)
Judol dan Pinjol Menggurita: Wajib Ditangani Segera!
Bahaya judol memang luar biasa, tak kalah dari narkotika karena bisa menimbulkan efek kecanduan yang akhirnya merusak akal dan mental. Menurut halodoc, seseorang yang pernah bermain judol dan menang akan merasakan efek ketagihan. Euforia yang didapat dari kemenangan judol mengalihkan rasa cemas dan khawatir, hingga tanpa sadar akan menjadi perasaan adiktif. Ketika kalah, muncul obsesi berlebihan bahkan sulit tidur lalu depresi. Kondisi inilah yang memicu seseorang rela melakukan apapun demi judol termasuk mengambil pinjol.
Indonesia bahkan tercatat sebagai negara dengan pengguna judol tertinggi di dunia dengan pemainnya sebanyak 4.000.000 jiwa termasuk di dalamnya anak-anak. Menurut data yang diungkap pada Podcast JUMATAN (Jumpa PPATK Pekanan) pada 2024 lalu, jumlah anak pemain judol usia di bawah 10 tahun sebanyak 2% atau 80.000 jiwa dan usia antara 10-20 tahun sebanyak 11% atau 440.000 orang. (www.ppatk.go.id, 26/7/2024).
Maraknya judol tentu masalah besar bagi negeri ini. Apalagi judol seringkali beriringan dengan masalah lain seperti pinjol. Seseorang yang kecanduan judol dan kalah, kerap membutuhkan akses dana instan untuk terus bermain. Sementara hanya pinjaman online-lah yang dipandang paling relevan karena pencairan dananya cepat, mudah, serta tanpa ribet. Akhirnya, keduanya membentuk lingkaran setan yang sulit dihentikan, sehingga didapati sebagaimana fakta di atas, seorang pelajar SMP terjerat pinjol gara-gara judol. Bahkan menurut PPATK sekitar 3,8 juta dari 8,8 juta pemain judol memiliki pinjol.
Karena itu, sudah semestinya pemerintah bertindak serius menangani judol. Namun tentunya tidak akan cukup hanya dengan memperkuat literasi digital dan menerapkan pendidikan karakter di sekolah. Sebab hakikatnya permasalahan ini muncul dari cara berpikir yang rusak; ingin cepat kaya tanpa kerja keras, dan melalui aplikasi medsos kemalasan itu berbuah uang bahkan dengan syarat cukup mudah.
Hakikatnya, praktik judol dan pinjol muncul akibat dua hal. Pertama, sistem yang diterapkan dan peran negara. Sistem yang ada yakni kapitalisme sekuler membebaskan individu mendapatkan apapun dan memperkaya diri dengan cara apapun selama tidak membebani negara. Negara hanya jadi regulator dan fasilitator bagi aktivitas ekonomi yang menguntungkan. Dalam hal ini norma, adat, moral tak menjadi alasan sehingga wajar hanya karena ada keuntungan aplikasi pinjol dan judol dilegalkan pemerintah melalui OJK. Kedua, tergesernya aturan agama oleh tuntutan ekonomi. Hal ini berkaitan erat dengan sistem kapitalisme. Sistem yang menghalalkan riba dan judi. Padahal diakui atau tidak agamalah satu-satunya pondasi seseorang melakukan suatu perbuatan. Tanpa adanya agama, manusia rapuh dan tidak memiliki tujuan hidup yang benar. Sementara godaan di dunia ini begitu banyak, konten judol yang menjanjikan kekayaan instan demikian menjamur, merambah situs-situs pendidikan dan games online. Akhirnya generasi mudah terpapar karena tujuan hidupnya tidak terarah, yang dipikirkan hanya mengejar kesenangan bersifat duniawi semata. Ini diperparah dengan minimnya pengawasan orang tua, sekolah, terlebih negara sebagai institusi yang memiliki wewenang besar dalam menutup atau memberantas situs-situs judol maupun pinjol.
Menyelesaikan masalah judol atau pinjol bukan semata membenahi individu siswa dan program pendidikan karakter di sekolah yang sifatnya parsial tapi harus berupa solusi mengakar yaitu: melepaskan sistem dan ideologi yang saat ini menjadi akar permasalahan; menanamkan pendidikan akidah (Islam) kepada generasi melalui kurikulum pendidikan; menguatkan peran orang tua dan sekolah sebagai pendidik generasi; membuka lapangan pekerjaan yang luas sehingga setelah lulus sekolah generasi bisa bekerja; dan terakhir negara harus memblokir dan menghapus situs-situs judol maupun pinjol lalu menerapkan sanksi yang tegas bagi yang melanggar.
Islam Memberantas Judol dan Pinjol Hingga Akar
Dalam pandangan Islam judol maupun pinjol adalah haram. Keharaman ini begitu jelas disebutkan Allah Swt. dalam firmanNya yakni QS. Al-Maidah: 90: “Hai orang yang beriman sesungguhnya meminum khamar, berjudi, mengundi nasib dengan anak panah merupakan perbuatan setan. Maka jauhilah itu semua agar kamu beruntung.”
Begitu pula keharaman pinjol yang karena praktiknya sarat dengan ribawi, maka dinisbatkan pada dalil keharaman riba: “....Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….”(Al-Baqarah: 275)
Karenanya, untuk mengatasi keduanya Islam akan menempuh berbagai upaya komprehensif, seperti: Pertama, menerapkan sistem pendidikan berbasis Islam di semua kurikulum pendidikan maupun di rumah-rumah. Tujuannya untuk membentuk generasi bersyakhsiyah Islam sehingga tujuan hidup generasi terarah.
Kedua, menutup/memblokir semua akses judol maupun pinjol, memburu pelaku maupun gembongnya lalu memberikan hukum tegas yang telah ditetapkan oleh Khalifah. Tentunya sanksi tersebut bersifat jawabir dan jawazir. Negara pun akan memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk mengawasi internet, sehingga yang tayang hanyalah sesuatu yang dapat menguatkan keimanan dan semangat jihad fii sabilillah.
Ketiga, menjadikan umat sebagai salah satu pilar pengontrol akhlak generasi melalui amar makruf nahi mungkar.
Keempat, Islam akan menjadikan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya. Karena itu, negara wajib membuka lapangan pekerjaan yang luas, sehingga selepas lulus sekolah generasi akan bekerja dan memiliki kegiatan. Dengan begitu tak ada waktu untuk mengakses hal-hal negatif yang merusak pemikiran.
Di sisi lain, makna kebahagiaan dalam Islam pun adalah meraih rida Allah, bukan meraih materi seperti dalam sistem kapitalisme-sekuler. Itulah mengapa ketika Islam diterapkan dahulu sebagai sistem kehidupan, tidak pernah ada satupun catatan sejarah yang mengatakan bahwa rakyat negara Islam merusak generasi melalui ladang perjudian.
Wallahu a'lam bis shawwab
