Opini: LBH MUI dan Jalan Panjang Mewujudkan Keadilan Hakiki

Oleh Hanin Mazaya
Senin, 10 November 2025 - 18.02
Opini: LBH MUI dan Jalan Panjang Mewujudkan Keadilan Hakiki
Opini: LBH MUI dan Jalan Panjang Mewujudkan Keadilan Hakiki

Sebuah gebrakan baru dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bandung untuk memperluas perannya dalam bidang hukum yaitu dengan membentuk Lembaga Bantuan Hukum (LBH) pada tanggal 17 Oktober 2025. Acara tersebut dihadiri oleh Wamendikdasmen Prof. H. Atip Latipulhayat, Bupati Bandung HM Dadang Supriatna, dan pejabat terkait lainnya.  Langkah ini diharapkan mampu membantu penyelesaian sengketa sekaligus advokasi dan konsultasi hukum bagi masyarakat, terutama mereka yang terpinggirkan dan lemah. (Sekitarbandung.com,17/10/205)

Tingkat keadilan Indonesia masih menunjukan kondisi yang belum maksimal. World Justice Project (WJP) Rule of Law Index 2023 pun menyatakan negara kita menempati posisi 66 dari 142 negara. Ini mungkin terjadi karena menurut Critical Legal Studies (CLS) keadilan merupakan konsep yang tidak netral dan sering kali bias, karena hukum cenderung mempertahankan status quo dan kepentingan kelompok dominan.
Salah satu contoh kasus ketidakadilan yang populer adalah Prada Lucky yang tewas setelah disiksa oleh 20 teman kerjanya di TNI. Padahal orang tua Prada Lucky merupakan seorang TNI pula, namun sulit bagi pihak keluarga untuk melakukan otopsi agar diketahui penyebab kematiannya. Kasusnya saat ini masih dalam proses persidangan yang dilakukan secara terbuka agar diketahui perkembangannya oleh masyarakat luas. Oleh karena itu, kehadiran LBH MUI menjadi angin segar bagi masyarakat lemah agar mendapatkan bantuan hukum, pendampingan advokasi, dan edukasi hukum terutama jika itu menghadapi kelompok yang kuat pengaruh dan modalnya.

Hanya saja kehadiran LBH ini hanya membantu masyarakat ketika masalah sudah terjadi, namun tidak bisa merubah sistem yang masih berjalan dan berpotensi melanggengkan ketidakadilan tersebut. Padahal masalah ketidakadilan itu banyak sebabnya, mulai dari korupsi, ketimpangan ekonomi, kurangnya profesionalitas aparat hukum, diskriminasi, serta penyalahgunaan kekuasaan. Itu diperparah dengan adanya bias dan stereotip masyarakat yang mendiskriminasi pihak tertentu, pendidikan yang membuat kesadaran hukum tidak merata dan budaya otoriter yang masih terjadi di sebagian kalangan.

Semua faktor itu akan sulit untuk dihilangkan karena sistem demokrasi-kapitalisme yang dijalankan pemerintah saat ini memandang bahwa materi, jabatan, dan koneksi sebagai hal yang berpengaruh dalam keputusan hukum. Maka mereka yang tidak memiliki ketiganya harus bersiap kalah dalam hukum. Karena aparat akan cenderung bersikap lunak pada pejabat dan orang-orang berduit namun akan sangat tegas bahkan kejam pada rakyat kecil. Seperti halnya koruptor yang bisa santai tersenyum ke awak media sembari mengenakan rompi oranye, disisi lain ada pencuri kecil yang mesti babak belur dipaksa mengaku aparat atau dihajar massa.

Maka dari itu, selama kapitalisme masih digunakan ketidakadilan sangat mungkin untuk terjadi berulang kali di masa depan. Meskipun LBH diperbanyak dan terus bersedia mendampingi kasus hukum yang dialami rakyat kecil, akan sulit untuk mewujudkan keadilan subtantif bagi mereka. Yang ada hanya keadilan formalitas yang berfokus pada prosedur tapi mengabaikan keadaan masyarakat sebenarnya.
Berbeda dengan cara pandang Islam, agama ini sangat menjunjung tinggi keadilan dan memandang semua manusia setara dihadapan hukum. Status sosial, harta atau relasi pada penguasa tidak akan dijadikan aspek yang dipertimbangkan dalam membuat keputusan hukum. Bahkan dulu di masa Rasulullah Saw ada seorang wanita dari Bani Makhzumiyyah tertangkap mencuri, Usamah bin Zaid pun mencoba melobi pada Nabi agar tidak menerapkan hukum potong tangan padanya. Namun Rasul menjawab dengan dengan tegas yang artinya: ”Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688)

Keteladanan luar biasa juga ditampakkan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra. Beliau pernah didatangkan dua orang pembantu yang dituduh mencuri seekor unta dari tuannya. Sebelum menjatuhkan hukuman Umar menanyakan terlebih dahulu alasan mereka mencuri, setelah mereka menjawab itu karena kelaparan yang mencekik mereka lebih-lebih pada masa paceklik. Beliau lalu memutuskan untuk membebaskan keduanya bahkan mengganti harga unta itu dua kali lipat kepada pemilknya.

Dari kedua kisah tersebut bisa terbayangkan bagaimana keadilan sangat mungkin diterapkan jika itu berlandaskan asas Islam yang dijalan kan oleh orang-orang yang salih. Karena Islam tidak hanya mengurus masalah ibadah, tapi aturannya yang kafah mampu membangkitkan perekonomian, menghilangkan diskriminasi sosial, memandang manusia setara, memberikan pendidikan merata dan mengurus setiap aspek kehidupan manusia.

Terakhir, koreksi terhadap penguasa sangat dibutuhkan hari ini. Karena keadilan perlu terus diperjuangkan bagi tiap manusia. Apabila perbaikan parsial tidak bisa menyelesaikan permasalahan ini, alangkah bijak jika penguasa mencari solusi alternatif di luar yang pernah dilakukan, agar solusi sistemik bisa terjadi. Maka Islam sangat mungkin menjadi solusi bagi masalah ketidakadilan, karena penyelesaian yang dilakukan terbukti efektif dan menyeluruh. Semoga langkah ini membawa masyarakat pada kehidupan yang adil dan sejahtera dalam bingkai Islam.

Wallaahu a’lam bis shawwab

Editor: Hanin Mazaya

Opini