Perang Generasi Baru: Ketika Otak, Atmosfer, dan AI Jadi Medan Tempur

Oleh Samir Musa
Selasa, 18 November 2025 - 13.34
Perang Generasi Baru: Ketika Otak, Atmosfer, dan AI Jadi Medan Tempur
Perang Generasi Baru: Ketika Otak, Atmosfer, dan AI Jadi Medan Tempur

(Arrahmah.id) — Para pakar pertahanan memperingatkan bahwa dunia kini memasuki fase baru perang teknologi yang jauh melampaui ancaman militer konvensional. Dari manipulasi otak manusia hingga rekayasa cuaca dan penyanduan kecerdasan buatan, berbagai teknik baru mulai muncul di balik laboratorium militer dan pusat riset negara-negara besar. Temuan ini dilaporkan oleh majalah Prancis, Le Point.

Meski perhatian publik selama ini tersita pada drone, radar, dan senjata presisi tinggi, laporan itu menegaskan bahwa teknologi lebih senyap—namun jauh lebih berbahaya—sedang berkembang. Para insinyur pertahanan bahkan menyebutnya sebagai “mimpi buruk yang diciptakan dengan tangan sendiri”.

Majalah tersebut menguraikan empat bentuk utama dari “Horus masa depan” ini:

 

Pertama: Serangan ke Dalam Otak Manusia

Konsep pertempuran kognitif terus berkembang pesat, dengan tujuan menargetkan otak musuh secara langsung melalui teknologi fisiologis jarak jauh. Seorang pejabat tinggi di Kementerian Angkatan Bersenjata Prancis mengatakan, “Ini akan menjadi isu sentral dalam perang masa depan… tujuannya adalah menipu otak musuh secara langsung.”

[caption id="attachment_508773" align="alignnone" width="770"] Otak manusia tersusun dari miliaran sel saraf yang saling berkomunikasi melalui jaringan yang kompleks. (Pixabay)[/caption]

Tekniknya dapat melibatkan gelombang mikro, aroma, feromon, bahkan suara berfrekuensi tertentu—yang dalam skenario ekstrem mampu melumpuhkan seluruh kru kapal selam tanpa satu tembakan.

Pejabat itu menambahkan, “Kini kami dapat menciptakan mimpi buruk kami sendiri… dan itu memungkinkan serangan yang sangat berbahaya.”

 

Kedua: Mencekik Jalur Perdagangan Global

Dengan sekitar 90 persen perdagangan dunia bergantung pada jalur laut, para ahli memperingatkan bahwa rantai pasok global menjadi semakin rentan.

[caption id="attachment_508774" align="alignnone" width="770"] Drone maritim Ukraina. (Reuters)[/caption]

Tak perlu menenggelamkan kapal-kapal besar; cukup menimbulkan ancaman permanen yang membuat pergerakan logistik tidak lagi stabil. Drone permukaan dan drone bawah laut generasi baru bahkan dapat bergerak mengikuti arus laut dengan biaya operasional sangat rendah, namun mampu menimbulkan kerusakan besar.

Kepala Angkatan Laut Prancis, Kapten Jérôme Henry, mengakui bahwa militernya telah berlatih menghadapi serbuan kawanan drone maritim, “siang dan malam tanpa peringatan”.

Ketiga: Mengatur Cuaca—Menggelapkan Matahari atau Mengirim Banjir

Teknologi geo-engineering—biasanya dikembangkan untuk mitigasi iklim—kini dianggap dapat berubah menjadi senjata.

Beberapa teknik yang diprediksi dapat digunakan secara militer antara lain:

[caption id="attachment_508775" align="alignnone" width="770"] Program penelitian khusus hujan buatan semakin berkembang. (Getty Images)[/caption]

– Menabur yodida perak di awan untuk memperbanyak hujan dan menenggelamkan pasukan lawan.
– Melepas aerosol di lapisan atas atmosfer untuk menghalangi sinar matahari.
Pemutihan awan dengan partikel garam guna mengacaukan pengamatan satelit musuh.
– Menipiskan awan tinggi untuk meningkatkan suhu secara lokal hingga mencapai tingkat “mencekik”.

Laporan itu menyebut bahwa apa yang dahulu dianggap mimpi para perencana Soviet, kini menjadi teknologi nyata yang dapat memicu bencana yang tampak seperti mitologi.

Keempat: Meracuni Otak Kecerdasan Buatan

Serangan berbasis data poisoning—peracunan data pelatihan AI—bukanlah ancaman baru. Namun yang kini paling dikhawatirkan adalah racun digital yang menyusup ke struktur inti algoritma.

Seorang pakar Eropa dalam AI militer menjelaskan, “Jika jaringan pembelajaran tercemar, maka AI itu sendiri akan hancur… ia benar-benar bisa mati.”

Peneliti lain, Olivier Blazy, memberi ilustrasi ekstrem: “Bayangkan ada model yang selalu memberi jawaban sama: negara ini teman, yang itu musuh.”
Kesalahan seperti ini pernah terjadi sebelumnya, misalnya kegagalan sistem rudal Patriot pada 1991 yang memicu tewasnya 28 tentara AS.

Perang Tanpa Suara, Tanpa Api

Laporan Le Point menyimpulkan bahwa perang masa depan tidak lagi sekadar terjadi di medan terbuka atau melalui ledakan yang tampak oleh mata.

Pertempuran berikutnya akan berlangsung:
— di dalam belitan neuron otak manusia,
— di lapisan tertinggi atmosfer bumi,
— dan di kedalaman kode yang menggerakkan kecerdasan buatan.

Semuanya merupakan ancaman “sunyi”, yang saat ini disebut sedang dipersiapkan dan dipelajari oleh militer dunia—sementara para insinyur pertahanan, kutip laporan tersebut, “terus menciptakan mimpi buruk mereka sendiri.”

(Samirmusa/arrahmah.id)

Editor: Samir Musa

Teknologi