Kisah pilu dialami Irene Sokoy asal Kampung Hobong Distrik Sentani Papua. Ia meninggal bersama bayi yang masih dalam kandungannya setelah melewati perjalanan panjang dan melelahkan selama proses mencari bantuan untuk melahirkan. Irene menghembuskan nafas terakhirnya setelah ditolak oleh empat rumah sakit dengan berbagai alasan. Ada yang menyebutkan tidak adanya dokter spesialis kandungan, ruangan BPJS penuh, ruang operasi sedang direnovasi, dan di rumah sakit keempat pasien ditolak karena keluarga tidak mampu membayar DP sebesar 4 juta rupiah. Peristiwa tragis ini diceritakan oleh Abraham Kobey kepala Kampung Hobong, yang juga merupakan mertua korban.
Merespon peristiwa tersebut Gubernur Papua Matius Derek Fakhiri, menyampaikan permintaan maaf atas kebobrokan kinerja jajaran pemerintah yang ada di bawahnya, terutama di bidang layanan kesehatan. Ia menyadari bahwa tata Kelola sistem kesehatan di wilayahnya kurang baik, dan berjanji akan mengevaluasi hal tersebut, dengan meminta bantuan langsung dari menteri kesehatan. (Kompas.com 22/11/2025)
Setelah kisah ini viral, pihak rumah sakit pun mengklarifikasi perihal kejadian tersebut. Rumah sakit pertama pasien ditolak karena ketiadaan dokter kandungan; rumah sakit kedua karena ruangan pasien BPJS penuh; sedangkan di rumah sakit ketiga dan keempat alasannya ada renovasi ruang operasi dan karena pasien tidak mampu membayar DP. Klarifikasi ini jelas bukan yang diharapkan masyarakat karena bagaimanapun keadaannya harusnya tidak mengabaikan pasien. Klarifikasi ini tak lebih bentuk membela lembaga mereka agar tidak terkesan bersalah.
Jika pun benar seperti itu kondisi rumah sakit, harusnya pemerintah malu karena belum mampu menyediakan layanan kesehatan yang layak hingga masyarakat menjadi korbannya. Pemerintah seharusnya menyediakan berbagai sarana dan prasarana layanan kesehatan yang berkualitas, agar dapat memenuhi segala kebutuhan pengobatan bagi pasien. Jangan hanya setelah viral baru diadakan evaluasi dan berjanji memperbaiki layanan.
Penolakan pihak rumah sakit atas pasien memang kerap terjadi dalam sistem hari ini. Meski sudah ada BPJS yang katanya bentuk jaminan dan pelayanan kesehatan nyatanya tak semua mendapat pelayanan bahkan makin nampak diskriminasi layanan antara pasien BPJS dan umum. Intinya, tanpa memiliki uang masyarakat akan sulit mendapatkan akses pelayanan terbaik. Orang miskin seolah dilarang sakit dan masuk rumah sakit.
Dapat dipastikan di luar sana masih banyak kisah-kisah tragis lainnya yang menjadi korban dari buruknya layanan publik ini. Padahal dalam UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, disebutkan bahwa rumah sakit tidak boleh menolak pasien dalam keadaan darurat, dengan alasan apapun termasuk biaya. Pemerintah juga senantiasa berdalih untuk memperbaiki layanan ini, namun nyatanya perbaikan tersebut belum dirasakan hingga masyarakat masih kesulitan untuk mengaksesnya, dan kejadian sebagaimana fakta di atas pun terus terulang.
Inilah kenyataan pahit yang harus dirasakan karena hidup dalam kungkungan sistem rusak yang bernama kapitalisme. Dalam sistem ini penyediaan layanan kesehatan yang merupakan kebutuhan publik, diposisikan seperti bisnis untuk mengejar keuntungan bukan untuk melayani keselamatan pasien. Maka tidak heran jika pelayanan yang diberikan akan disesuaikan dengan kemampuan finansial, bukan berdasarkan kebutuhan medis pasien. Karena itulah masyarakat yang tidak mampu harus rela mendapatkan pelayanan seadanya, dan dipulangkan meski kondisi belum pulih.
Selama sistem kapitalisme masih diterapkan, dampak pelayanan kesehatan yang berjalan di atas motif bisnis ini akan senantiasa terjadi dan menyulitkan. Ketidakadilan akses layanan, kualitas layanan yang minim, biaya kesehatan yang mahal dan sebagainya adalah bukti nyata bahwa kapitalisme tak mewujudkan penjagaan jiwa manusia. Sebab, nurani dan rasa kemanusiaan kadang teralihkan oleh kebutuhan cuan dan kebijakan.
Berbeda halnya dengan negara yang menerapkan Islam secara kaffah. Peran penguasa dalam Islam adalah pengurus dan pelayan seluruh kepentingan umat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw:
"Imam (pemimpin) adalah penggembala bagi rakyatnya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Islam memandang pelayanan kesehatan merupakan kebutuhan asasi umat yang dijamin oleh negara. Pemerintah wajib menyediakan layanan ini merata di setiap daerah dengan kualitas dan kuantitas terbaik, sehingga masyarakat dapat mengaksesnya dengan mudah, murah bahkan gratis. Seluruh pembiayaan untuk menyediakan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan ini diambil dari kas Baitul Mal, yang salah satu pos pendapatannya berasal dari hasil pengelolaan SDA oleh negara.
Jaminan tentang kesehatan ini telah dicontohkan oleh Rasulullah saw., ketika beliau dihadiahi seorang tabib (dokter) dari Mauqauqis Raja Mesir. Rasulullah saw. menjadikan tabib tersebut sebagai dokter umum bagi warga daulah baik yang muslim atau kafir, sehingga mereka semuanya mendapat pelayanan dengan adil.
Pelayanan kesehatan yang diberikan negara berlandaskan kewajiban menyelamatkan jiwa manusia, bukan untuk meraup keuntungan sebagaimana saat ini. Sejarah mencatat saat peradaban Islam tegak layanan sistem kesehatan seperti rumah sakit berkembang pesat, para ilmuwan di bidang kesehatan pun bermunculan seperti Ar-Razi, Ibnu Sina, Al-Jazari dan yang lainnya. Rumah sakit bukan hanya menjadi tempat pengobatan, tetapi juga sebagai pusat pendidikan bagi para calon dokter. Para dokter di masa itu pun dikenal penuh kelembutan dalam melayani dan memperlakukan pasien.
Itulah sedikit gambaran tentang bagaimana negara yang menerapkan Islam, dalam memberikan jaminan kesehatan terbaik pada masyarakat. Oleh karena itu, hanya Islam satu-satunya solusi agar masyarakat mendapatkan jaminan kesehatan yang adil, mudah dan murah, sehingga keselamatan jiwa manusia terjaga.
Wallahu a'lam bis shawab
