Sudan: Tragedi Kemanusiaan yang Disulut Ambisi Global

Oleh Hanin Mazaya
Senin, 10 November 2025 - 17.21
Sudan: Tragedi Kemanusiaan yang Disulut Ambisi Global
Sudan: Tragedi Kemanusiaan yang Disulut Ambisi Global

Belum kering darah di Gaza, dunia kembali berduka oleh tragedi kemanusiaan di jantung Afrika. Pada 26 Oktober 2025, kota Al-Fasher di Darfour Utara berubah menjadi neraka. Sebanyak 2.227 jiwa dibantai dan hampir 400 ribu warga terusir dari tanah kelahirannya oleh Pasukan Dukungan Cepat (RSF) yang dipimpin Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, atau Hemeti.

Selama 18 bulan pengepungan, 1,2 juta penduduk terjebak dalam kelaparan ekstrem, bertahan hidup dengan pakan hewan. Perempuan diperkosa sebelum dibunuh bersama anak-anak mereka, sementara para pria disiksa dan ditembak massal. Lebih mengerikan, kekejaman itu direkam dan disebarkan, menjadi alat teror psikologis yang menghancurkan mental bangsa Sudan. (Muslimahnews.net, 05/11/2025)

Namun dunia tampak tuli dan buta. Ketika perhatian global tersedot ke Gaza, Sudan kembali dijadikan panggung kekerasan dan eksploitasi atas nama “stabilitas politik”. Padahal, darah yang mengalir di Darfour bukan hanya akibat kebencian antarkelompok, tetapi hasil dari percaturan kekuatan besar dunia yang memelihara konflik demi kepentingan ekonomi dan geopolitik mereka.

Sudan dalam Cengkraman Neoimperialisme

Sudan sejatinya bukan negeri biasa. Ia negara terbesar ketiga di Afrika, dengan posisi strategis yang menghubungkan Afrika Utara dan Timur Tengah. Lebih dari 90 persen penduduknya Muslim, dan tanahnya menyimpan kekayaan alam luar biasa berupa emas, minyak, serta Sungai Nil yang membentang megah.

Negeri ini bahkan memiliki lebih banyak piramida daripada Mesir. Tapi di balik semua potensi itu, Sudan justru hidup dalam bayang-bayang tragedi tanpa akhir berupa kudeta, konflik bersenjata, dan krisis kemanusiaan yang berkepanjangan.

Krisis ini bukan murni persoalan internal. Ia merupakan bagian dari  permainan geopolitik global di mana Barat terutama Amerika Serikat dan Inggris menjadikan Sudan sebagai medan catur untuk mempertahankan pengaruhnya di Afrika.

Sejak tumbangnya pemerintahan Omar al-Bashir pada 2019, Barat berlomba-lomba mengamankan akses terhadap sumber daya Sudan. Melalui intervensi politik, mereka membelah kekuatan militer menjadi dua yaitu Tentara Nasional Sudan (SAF) dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF). Kedua kubu ini disokong aktor asing dengan kepentingan berbeda agar konflik tetap hidup dan Sudan tak pernah mencapai stabilitas sejati.

Negara-negara sekutu seperti Zionis Israel dan Uni Emirat Arab (UEA) turut memainkan peran. Dengan alasan diplomasi dan kerja sama ekonomi, mereka terlibat dalam suplai senjata dan investasi tambang emas yang sarat motif kolonial.

Maka jelas, tragedi Sudan adalah wajah telanjang dari neoimperialisme modern atau penjajahan gaya baru yang memecah belah umat dan menjarah sumber daya atas nama demokrasi dan kemanusiaan.

Sistem global kapitalistik sekuler yang menopang tatanan dunia hari ini memang memelihara konflik demi laba dan dominasi. Ia menanamkan ketergantungan ekonomi, menciptakan hutang politik, lalu menghisap kekayaan negeri Muslim yang kaya tapi tak berdaulat.

 

Menyatukan Umat di Bawah Kepemimpinan Hakiki

Tragedi di Sudan sejatinya bukan hanya kisah tentang konflik bersenjata, tetapi cermin luka mendalam dari tubuh dunia Islam yang tercerai-berai. Umat ini bagaikan tubuh tanpa kepala, bergerak tanpa arah, berjuang tanpa pemimpin yang menyatukan langkahnya.

Selama negeri-negeri Muslim terkungkung dalam sekat nasionalisme buatan penjajah dan tunduk pada sistem kapitalisme global, darah umat akan terus mengalir tanpa pembela, dan kekayaan mereka akan terus dijarah tanpa henti.

Islam sejatinya tidak datang sekadar untuk menenangkan luka, tetapi untuk menyembuhkan akar penyakitnya. Islam menawarkan solusi ideologis yang menyeluruh, bukan tambal sulam atau pragmatis ala sistem Barat.

Dalam pandangan Islam, kekuasaan adalah amanah, bukan alat perebutan kepentingan. Sistem Khilafah yang dibangun di atas akidah Islam, menjadikan penguasa sebagai pelindung umat dan penegak keadilan, bukan boneka kepentingan asing.

Dalam sistem ini, sumber daya alam seperti emas, minyak, dan hasil bumi dikategorikan sebagai milkiyyah ‘ammah (milik umum) yang wajib dikelola negara untuk kemaslahatan seluruh rakyat. Tidak ada ruang bagi korporasi global atau elit penguasa untuk memperkaya diri di atas penderitaan umat. Hasil bumi digunakan untuk memperkuat kesejahteraan rakyat, pendidikan, pertahanan, dan pelayanan publik, bukan diserahkan kepada pasar bebas yang rakus dan tak berjiwa.

Lebih dari sekadar sistem ekonomi yang adil, Khilafah juga membangun kekuatan politik dan diplomasi yang kokoh, berlandaskan akidah, bukan tekanan atau kompromi dengan kekuatan Barat. Ia mempersatukan negeri-negeri Muslim di bawah satu kepemimpinan yang berdaulat, menolak segala bentuk intervensi asing, dan berdiri sebagai tameng bagi umat dari segala bentuk penjajahan modern baik ekonomi, politik, maupun budaya.

Dengan sistem ini, Sudan tidak akan menjadi bidak dalam permainan geopolitik global. Ia akan menjadi bagian dari peradaban Islam yang berdaulat, yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan menegakkan keadilan. Tidak ada lagi kekuatan asing yang bisa mempermainkan nasib umat demi kepentingannya sendiri.

Selama dunia Islam masih mempercayai solusi tambal-sulam dari Barat, tragedi seperti Gaza dan Darfour akan terus berulang. Karena sistem kapitalisme sekuler tidak pernah dirancang untuk melindungi umat, melainkan untuk mempertahankan hegemoni dan menghisap kekayaan negeri-negeri Muslim.

Kini saatnya dunia Islam menyadari bahwa kebangkitan sejati bukan hanya soal perubahan politik atau ekonomi, tetapi kebangkitan ideologis yakni kebangkitan yang berpijak pada Islam sebagai sistem hidup yang sempurna.

Hanya dengan kembali kepada syariat Allah dan kepemimpinan Islam yang satu, bara konflik akan padam, luka akan terobati, dan cahaya keadilan akan menerangi bumi yang kini gelap oleh darah dan kepentingan manusia. Sebagaimana janji Allah Swt., dalam firmannya:

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal saleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi...” (QS. An-Nur: 55)

Kepemimpinan hakiki itu bukan mimpi, ia adalah keniscayaan yang akan terwujud ketika umat ini kembali bersatu di bawah panji Islam.

Wallahua'lam bis shawwab

Editor: Hanin Mazaya

Opini