Bullying Menggejala, Ada Apa dengan Dunia Pendidikan?

Oleh Hanin Mazaya
Selasa, 18 November 2025 - 18.27
Bullying Menggejala, Ada Apa dengan Dunia Pendidikan?
Bullying Menggejala, Ada Apa dengan Dunia Pendidikan?

Indonesia darurat bullying. Ini bukanlah isapan jempol semata, betapa banyak korban perundungan menimpa remaja yang tidak terselesaikan dan berakhir tragis. Di Aceh Besar, seorang santri korban perundungan yang masih di bawah umur diduga membakar asrama pesantren tempatnya menimba ilmu. Meskipun tidak menimbulkan korban jiwa, namun kerugian mencapai Rp2 miliar.

Sementara itu, kejadian lain juga tak kalah membuat publik mengelus dada, yaitu kasus ledakan yang terjadi di SMAN 72 Jakarta pada 27 Oktober lalu. Menurut penyidik ada informasi bahwa terduga pelaku adalah siswa sekolah tersebut yang merupakan korban bullying. Ia membawa tujuh buah bom yang meledak di tiga lokasi berbeda, yaitu masjid saat salat Jumat sedang berlangsung dan melukai 96 siswa. Juga di Taman Baca dan Bank Sampah, sedangkan sisanya tidak berhasil diledakkan. (cnnindonesia.com, 8 November 2025)

Maraknya bullying yang terjadi di berbagai daerah sungguh tidak bisa dianggap sepele. Apalagi jika melihat fakta di atas, kedua pelaku masih berstatus sebagai pelajar. Mereka mengaku telah menjadi korban perundungan dan hendak balas dendam. Perbuatan keduanya telah mengarah kepada tindakan kriminal yang menimbulkan korban jiwa dan kerugian material yang tidak sedikit.

Dari waktu ke waktu angka kasus perundungan di lingkup pendidikan terus menanjak secara signifikan. Menurut data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), pada 2022 terdapat 194 kasus, sedangkan tahun 2024 meningkat menjadi 573 kasus. Selain jumlahnya yang kian bertambah, bentuk bullying maupun dampaknya bagi korban pun semakin mengerikan, bahkan hingga ada yang bunuh diri. Alih-alih menjadi pelajaran, justru para korban seolah terinspirasi untuk mengakhiri hidupnya karena tidak mampu menyelesaikan masalahnya. Sementara pelaku perundungan tidak mendapatkan hukuman yang sesuai dengan perbuatannya.

Maraknya kasus perundungan terutama di dunia pendidikan dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah pengaruh dari media sosial. Banyak penelitian yang menunjukkan keterkaitan yang sangat erat antara penggunaan medsos dengan masifnya perilaku bullying di kalangan pelajar. Dengan segala kecanggihan dan luasnya jangkauan, media sosial telah menjadi alat yang efektif untuk menyebarkan berbagai konten negatif yang dapat mempengaruhi akal dan jiwa para penggunanya, terutama para remaja yang pemikirannya masih labil.

Saat ini media sosial menjelma menjadi guru sekaligus teman bagi remaja yang bermasalah secara sosial. Sementara peran orang tua, masyarakat, dan lembaga pendidikan semakin lemah dan rapuh. Maka tidak heran jika dari medsos lah anak-anak ini mencerap berbagai nilai seperti kebebasan, kekerasan, hedonisme, dan lain sebagainya. Bahkan dalam kasus ledakan di SMAN 72, pelaku diduga belajar merakit bom melalui media sosial.

Berbagai kasus bullying dan persoalan lain seperti pergaulan bebas, perilaku menyimpang, dan kekerasan di kalangan pelajar semakin menunjukkan wajah buram dunia pendidikan di negeri ini. Apa yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, kreatif, mandiri, demokratis, serta bertanggung jawab, ternyata masih jauh dari harapan. Maka tidak heran jika kemudian muncul pertanyaan, adakah yang salah dengan sistem pendidikan kita sehingga tidak mampu menghasilkan generasi yang cemerlang dan berkarakter kuat?

Tidak dimungkiri bahwa sistem pendidikan yang diterapkan saat ini tidak memiliki metode yang baku dan semakin terseret arus liberalisasi dan kapitalisasi. Terbukti dengan arah dan tujuan pendidikan yang lebih fokus pada pencapaian materi, pelajaran agama semakin minim, padahal untuk membangun peradaban cemerlang dibutuhkan nilai-nilai akhlak, ruhiyah dan insaniyah yang kuat. Sekolah hanya ditujukan untuk menyediakan tenaga kerja, bukan mencetak SDM yang berkepribadian mulia dan mampu bertahan dari gempuran berbagai pemikiran kufur.

Sejatinya keterpurukan bukan hanya dialami oleh dunia pendidikan, tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan. Sebab, paham sekularisme telah merusak tatanan kehidupan individu, masyarakat juga negara. Mulai dari sistem ekonomi, politik, pergaulan, hukum, semuanya dijauhkan dari agama. Sementara hal-hal yang bersifat duniawi, semakin dikedepankan. Secara fisik kehidupan saat ini mengalami kemajuan dengan segala kemudahan, tetapi secara hakikat masih jauh dari kemuliaan dan keberkahan, karena yang menjadi standar baik dan buruk suatu perbuatan adalah akal manusia yang terbatas. Maka wajar saja generasi yang terlahir dari sistem ini kehilangan identitas diri dan karakter sebagai pelopor perubahan, lemah iman dan jiwa mereka rapuh. Sehingga tidak mampu menyelesaikan masalahnya dan berujung petaka bagi dirinya maupun orang lain.

Profil generasi saat ini sejatinya jauh dari gambaran pemuda Islam yang sejati. Sebagaimana Firman Allah Swt.:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali Imran: 110)

Karena kokohnya keimanan, selama 13 abad umat Islam berhasil menjadi pemimpin peradaban, dan tercatat dalam sejarah. Pelopor terdepan dalam berbagai aspek kehidupan mulai dari bidang akhlak, moral, hingga ilmu pengetahuan. Hal ini membuktikan bahwa Islam adalah agama yang sempurna, yang diturunkan untuk semua umat manusia. Seluruh aturannya berfungsi sebagai solusi atas setiap permasalahan kehidupan.

Penguasa Islam menempatkan pendidikan sebagai pilar utama pencetak generasi cemerlang yang berkepribadian Islam, menguasai iptek, dan memiliki skil yang mumpuni dalam berbagai aspek kehidupan. Sehingga terlahir pemuda-pemuda yang taat, dan mampu memenuhi tugasnya sebagai hamba Allah sekaligus khalifah di bumi. Tentu sistem pendidikan dalam Islam tidak berdiri sendiri, melainkan ditopang oleh aturan lainnya, seperti ekonomi dan keuangan untuk pembiayaan infrastruktur, termasuk menyediakan para pendidik yang mumpuni.

Khalifah juga mengontrol media secara ketat, sehingga konten-konten yang membahayakan pemikiran maupun moral akan dilarang dengan tegas. Dan memberikan sanksi yang akan memberikan efek jera bagi pelanggarnya. Sehingga generasi akan terlindungi dari gempuran sekularisme beserta turunanya, yakni kapitalisme, individualisme, hedonisme dan yang lainnya.

Negara juga akan memberikan jaminan kebutuhan pangan, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Memastikan setiap keluarga berjalan dengan harmonis sehingga tidak ada alasan bagi anak untuk merasa depresi. Manakala kebahagiaan itu dirasakan, maka suasana di sekolah pun menjadi nyaman dan kondusif tidak ada celah bagi pelajar untuk melakukan perundungan.

Oleh karena itu, sudah saatnya umat mencontoh Rasulullah saw. dalam dakwah berjamaah untuk mewujudkan kesadaran umat akan urgensi dan kewajiban menerapkan seluruh aturan Islam dalam sebuah institusi negara. Sebab, hanya dengan tegaknya aturan Allah secara menyeluruh generasi penerus akan terlindungi dari berbagai perbuatan tercela. Wallahua'lam bis shawwab

Editor: Hanin Mazaya

Opini