Belum usai masalah Gaza, Sudan pun kini membara. Kondisi kemanusiaan di El‑Fasher, ibu kota negara bagian Darfur Utara semakin mengkhawatirkan setelah lebih dari 62.000 warga mengungsi hanya dalam waktu empat hari terakhir, yaitu antara 26 hingga 29 Oktober.
Laporan dari International Organization for Migration (IOM) menyebutkan bahwa setidaknya 62.263 orang meninggalkan El-Fasher dan wilayah sekitarnya setelah kota ini direbut oleh Rapid Support Forces (RSF) atau Pasukan Dukungan Cepat yang dikomandoi Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo. RSF berhasil memukul mundur tentara Sudan dan merebut ibukota setelah pengepungan selama lebih 18 bulan.
Krisis ini turut diperparah oleh kekurangan pangan, air bersih dan tempat berteduh yang layak. Salah satu rute pengungsian besar menuju El‑Obeid, dengan sekitar 1.900 orang tiba dalam kondisi sulit. Tak hanya itu, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia dilaporkan semakin marak. Tidak sedikit kaum perempuan yang dirudapaksa sebelum dibunuh bersama anak-anak mereka. Kaum laki-lakinya, tua maupun muda, disiksa dengan kejam, digantung di tempat-tempat umum, lalu ditembak secara massal. Semua itu sengaja mereka rekam dan videonya disebar ke seluruh dunia.
Konflik bersenjata antara RSF dan militer Sudan yang telah berlangsung sejak April 2023 terus memaksa jutaan warga mengungsi. Situasi ini menegaskan bahwa krisis di Sudan bukan hanya sekedar konflik militer semata, melainkan juga bencana kemanusiaan yang memerlukan perhatian dan aksi cepat komunitas internasional. (Minanews.net, 7/11/2025)
Diketahui, Sudan merupakan salah satu negara terbesar ketiga di Afrika, mayoritas muslim, memiliki banyak piramida. Juga terletak di timur laut benua Afrika yang menjadi jantung strategis Afrika dan Timur Tengah. Sudan juga termasuk negara yang dilalui sungai Nil, sungai terpanjang di dunia. Tak hanya itu, Sudan juga dipenuhi sumber daya alam (SDA) dengan jumlah yang sangat besar, serta sumber daya mineral yang melimpah. Ada emas, minyak bumi, gas alam, uranium, kromit, dan bijih besi serta asbes, tembaga, perak, nikel, dan lain-lain. Selain itu, Sudan juga dikaruniai tanah pertanian yang subur karena dilalui sungai Nil.
Secara geografis, letak Sudan yang berada di sepanjang fitur alam strategis, yakni Sungai Nil dan Laut Merah, menjadikan Sudan memiliki nilai strategis yang sangat tinggi dalam hal perdagangan, sumber daya, dan transportasi. Sayangnya, negara ini justru mengalami krisis kemanusiaan yang berkepanjangan.
Di Balik Konflik yang Berkepanjangan
Krisis Sudan yang sudah berlangsung sangat lama sesungguhnya bukan murni konflik etnis. Akan tetapi ada keterlibatan negara adidaya (AS) dan Inggris yang melibatkan negara-negara bonekanya (Zionis dan UEA). Konflik antar etnis atau 'perang saudara' yang dihembuskan di Sudan tidak lain buatan atau skenario Inggris untuk memuluskan penjajahan gaya barunya. Inggris sangat berambisi ingin menguasai seluruh potensi Sudan, terutama Sudan bagian selatan yang berlimpah ruah SDAnya.
Sebagai negara pengusung kapitalisme Inggris tidak dapat menyembunyikan sifat rakusnya untuk menjajah dan menguasai seluruh potensi Sudan sendirian. Hingga masuklah pemain baru terutama Amerika yang ingin turut membangun pengaruh politik dan ekonomi, baik di Sudan sendiri maupun di kawasan Timur Tengah melalui pengaruh politiknya di Sudan. Keterlibatan AS dalam konflik Sudan tentu saja dilatarbelakangi oleh pertimbangan kepentingan nasional, seperti potensi AS sebagai salah satu penerima minyak bumi terbesar dari Sudan Selatan, serta kepentingan regional yang lebih luas.
Sejak tampil sebagai pemimpin kapitalisme global, AS tentu tidak akan membiarkan Inggris menjadi saingannya. Berbagai upaya dilakukan untuk menyingkirkan pengaruh politik Inggris dan anteknya di kawasan, termasuk Sudan. Motifnya tidak lain adalah penguasaan SDA dan merealisasikan mimpinya membangun hegemoni politik di bawah tagline 'Proyek Timur Tengah Baru' dengan menjadikan Zionis Israel sebagai jangkar. Apalagi AS melihat di Sudan banyak terlahir faksi-faksi Islam yang menyerukan penerapan syariat Islam, bahkan beberapa rezim pemerintahan memang secara formal menjadikan Islam sebagai UUD.
Kondisi yang demikian tentu dapat mengancam kepentingan strategis AS di kawasan, dan khawatir jika politik Islam dan perkembangan pergerakan Islam akan meluas pengaruhnya dan menimbulkan instabilitas di wilayah Afrika. Untuk itu, AS berupaya melakukan berbagai cara, salah satunya dengan mengikat negara-negara eks jajahan Inggris di Afrika dan Timur Tengah ke dalam poros politiknya, termasuk Sudan, UEA dan Bahrain.
Sungguh, situasi politik Sudan begitu peliknya, sehingga banyak pihak yang pesimis konflik di Sudan akan selesai dengan baik. Karena nyatanya, konflik demi konflik terus terjadi hingga berkepanjangan. Namun semua itu, tidak ada alasan lain dalam konflik tersebut kecuali perebutan kendali atas sumber-sumber daya emas dan SDA lainnya di berbagai wilayah Sudan. Sementara Sudan sendiri hanya menjadi objek permainan dan perebutan negara-negara adidaya.
Islam Solusi Berbagai Permasalahan
Sebagai agama sekaligus ideologi, Islam mempunyai aturan komprehensif yang mampu menyelesaikan berbagai macam persoalan, termasuk persoalan Sudan. Sebagaimana Gaza, Sudan pun sama, mengalami konflik yang mengakibatkan ribuan orang harus mengungsi, dan meninggalkan penderitaan yang luar biasa. Mereka senantiasa meminta pertolongan kepada saudara muslimnya. Namun mereka seolah tidak peduli, sibuk menjaga kekuasaannya, terlebih para penguasa Arab yang jelas-jelas mengkhianati mereka dengan bersekongkol bersama negara imperialis Barat.
Kaum muslim harus mulai berpikir, jangan mau dibodohi dengan propaganda krisis Sudan sebagai konflik antar etnis atau perang saudara. Sehingga tanpa sadar kaum muslim malah membiarkan rakyat Sudan menderita dalam waktu yang sangat lama. Umat muslim harus bangkit, terutama cara berpikirnya, bahwa krisis Sudan sejatinya adalah perang peradaban antara ideologi Islam dan non Islam. Karena mereka mengetahui betul kekuatan Islam di wilayah Afrika, dan Barat ingin menjauhkan Islam, mencegah kebangkitan Islam di sana.
Oleh karena itu, kaum muslim harus lebih memantapkan ideologinya, meyakini bahwa solusi dari masalah apapun, baik ekonomi, politik, dan lainnya hanya dengan kembali kepada hukum Allah Swt.. Hanya dengan Islamlah permasalahan Sudan dan wilayah negeri-negeri muslim lainnya di Afrika dapat terselesaikan. Yakni dengan menghadirkan sebuah institusi pemerintahan Islam (khilafah) yang mampu mengomandoi para tentaranya untuk mengusir negara yang menindas dan membuat konflik, serta ingin merebut kekayaannya.
Institusi ini tentu tidak hadir dengan sendirinya meskipun telah dijanjikan, akan tetapi harus diperjuangkan dengan penuh kesungguhan. Sebagaimana dahulu Rasulullah saw. dan para sahabat mencontohkan. Yakni dengan menapaki jalan dakwah kepada Islam. Membangun kesadaran di tengah umat tanpa kekerasan, baik tentang kesempurnaan Islam mulai dari konsep keimanannya dan hukum-hukumnya, serta tentang bagaimana hukum-hukumnya tersebut dapat diterapkan hingga menyolusikan berbagai persoalan kehidupan, sampai pada terwujudnya Islam rahmatan lil alamiin.
Adapun upaya menegakkan khilafah ini tidak dapat dilakukan sendirian, akan tetapi harus berjamaah sebagaimana yang Rasulullah contohkan. Jamaah ini juga harus dipastikan hanya berkhidmat demi Islam, anggota-anggotanya diikat hanya oleh pemikiran Islam, dan bergerak untuk mempersatukan umat Islam.
Dengan bersatunya umat dan negeri-negeri muslim di bawah naungan khilafah, niscaya dapat melawan hegemoni negara-negara kafir Barat yang terus membuat umat Islam terjajah, terpecah, dan terus menderita.
Wallahu a'lam bi ash-shawab
