Kasus penculikan anak kembali meneror rasa aman masyarakat. Di Makassar, seorang balita bernama Bilqis tiba-tiba hilang dan diduga kuat menjadi mangsa sindikat perdagangan manusia. Berita ini menyebar cepat di media, memaksa publik kembali sadar bahwa anak-anak kita hidup dalam ancaman nyata.
Aparat kepolisian berhasil membekuk empat tersangka yang sebelumnya sempat menyamarkan keberadaan korban dengan menitipkannya kepada Suku Anak DalamĀ (SAD) di Jambi. Para pelaku menggunakan berbagai alasan yang direkayasa untuk menutupi jejak, menunjukkan bahwa aksi mereka dilakukan dengan perencanaan dan koordinasi yang matang. (Tribunnews.com, 16/11/2025)
Melihat jejaring penculik Bilqis yang beroperasi lintas provinsi, jelas mereka bukan pelaku tunggal. Perpindahan Bilqis dari satu tangan ke tangan lainnya menunjukkan adanya sindikat Tindak Pidana Perdangan Orang (TPPO) yang terorganisasi, memiliki jaringan, dan pasar yang siap menampung.
Lebih keji lagi, pelaku memanfaatkan masyarakat adat Suku Anak Dalam sebagai tempat penyamaran dan titik transaksi seolah mereka pelindung kejahatan, padahal justru menjadi korban penipuan.
Namun, respon yang muncul sering kali dangkal; "orang tua harus lebih waspada, dan anak harus lebih berhati-hati". Padahal, bagaimana mungkin kejahatan lintas wilayah dengan motif ekonomi kuat bisa dihentikan hanya dengan imbauan moral pada individu?
Kapitalisme Bukan Saja Gagal Menjaga Manusia, Tetapi Memfasilitasi Eksploitasi Manusia
Kasus Bilqis menunjukkan adanya kelompok rentan yang mudah dieksploitasi. Warga Suku Anak Dalam (SAD) tertipu surat palsu dan bujukan pelaku yang meminta uang Rp85 juta. Ketidaktahuan mereka terhadap akses hukum dan informasi membuat mereka tanpa sadar terlibat dalam rantai kejahatan. Ketika kebenaran terungkap, rasa bersalah hanya mampu mereka redam dengan tradisi melangun atau menenangkan diri.
PBB telah menegaskan bahwa anak-anak, masyarakat adat, dan warga miskin adalah kelompok yang paling rawan menjadi korban eksploitasi. Mereka lemah dalam akses pendidikan, perlindungan, dan jauh dari perhatian negara.
Fakta lainnya, ruang publik kita belum aman bagi anak. Penculik bisa dengan mudah mendekati dan membawa kabur seorang bocah tanpa sistem yang menghadang.
Karena itu, penemuan Bilqis di kawasan masyarakat adat tidak boleh memunculkan stigma baru. Dalam struktur sosial yang dikuasai modal, mereka adalah pihak yang terusir dari ruang hidup. Ketika mereka diperalat, justru mereka pula yang disalahkan.
Jika ditelusuri lebih dalam, akar kasus seperti ini adalah sistem ekonomi kapitalistik yang menjadikan manusia termasuk anak kecil sebagai komoditas. Dalam logikanya, kemiskinan adalah peluang, dan kelompok rentan adalah target. Selama keuntungan menjadi nilai tertinggi, TPPO akan terus menemukan jalannya.
Maka pertanyaan kita harus berubah, bukan lagi bagaimana orang tua menjaga anaknya, melainkan mengapa negara dan sistem yang mengatur hidup kita membiarkan predator berkeliaran di ruang publik? Ini bukan sekadar kesalahan individu, melainkan kegagalan sistemik yang menormalisasi eksploitasi dan mengabaikan kemanusiaan.
Selama sistem ini tetap berkuasa, akan selalu ada Bilqis-Bilqis lain yang menjadi korban. Ini bukan sekadar tragedi, tetapi peringatan keras bahwa kita tengah membiarkan mimpi buruk mengancam masa depan anak-anak bangsa.
Solusi Ideologis Islam: Negara sebagai Penjaga Nyawa dan Kehormatan
Berbeda dengan Islam yang mampu memberika solusi yang bersifat struktural, bukan semata imbauan moral yang dibebankan kepada keluarga atau individu. Syariah menegaskan bahwa anak adalah amanah yang wajib dilindungi negara; eksploitasi manusia adalah kejahatan besar; dan masyarakat rentan, termasuk adat dan miskin, harus mendapatkan perlindungan penuh. Prinsip-prinsip ini bukan sekadar konsep normatif, tetapi pernah diwujudkan nyata dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah) yang menaungi dunia selama lebih dari 13 abad.
Dalam sistem itu, negara memiliki tanggung jawab utama menjamin keamanan publik secara preventif. Aparat ditempatkan hingga ke pelosok daerah agar ruang sosial rakyat aman dari ancaman kriminalitas. Segala bentuk penculikan dikategorikan sebagai hirabah (teror terhadap manusia dan masyarakat) dan ditindak tegas tanpa menunggu korban berjatuhan. Negara hadir bukan setelah tragedi terjadi, tetapi sejak awal mencegah peluang kejahatan muncul.
Selain itu, syariah menerapkan hukuman yang tegas dan menjerakan bagi pelaku TPPO. Mereka dapat dikenai hukuman paling berat, mulai dari penjara hingga hukuman mati, sesuai tingkat kriminalitasnya. Tidak ada ruang tawar-menawar, sebab dalam Islam nyawa, kehormatan, dan keselamatan manusia tidak boleh diperjualbelikan dalam konteks apa pun. Hukum ditegakkan secara independen dari kepentingan ekonomi dan politik sehingga publik terlindungi secara nyata.
Islam juga meletakkan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan penuh kepada kelompok marjinal seperti masyarakat adat yang selama ini rentan menjadi korban eksploitasi. Negara wajib menyediakan akses kehidupan layak, pendidikan, serta jaminan keamanan bagi mereka tanpa diskriminasi wilayah dan ekonomi. Tidak boleh ada warga yang terpinggirkan dari peradaban hanya karena sistem hari ini lebih memihak pada modal dan korporasi.
Dari sisi ekonomi, Islam menawarkan mekanisme distribusi harta yang adil sehingga mampu menutup akar-akar ekonomi yang mendorong perdagangan manusia, seperti kemiskinan, kesenjangan, dan perlakuan manusia sebagai komoditas.
Negara wajib menjamin setiap keluarga terpenuhi kebutuhan dasarnya serta memiliki kesempatan hidup yang layak. Dengan kondisi demikian, ruang bagi tumbuhnya jaringan kriminal termasuk perdagangan anak akan hilang karena tidak ada lagi celah ekonomi yang bisa dieksploitasi.
Sejarah telah membuktikan bahwa wilayah kekuasaan Islam yang begitu luas dengan keberagaman etnis, agama, dan budaya dapat hidup dalam keamanan yang kuat karena negara hadir sebagai penjaga hak dan kehormatan rakyatnya, bukan sekadar regulator yang tunduk pada kepentingan ekonomi.
Akhirnya, kita harus berani menyimpulkan bahwa jika akar persoalan lahir dari sistem yang salah, maka solusi sejatinya adalah mengganti sistem itu dengan sistem yang berlandaskan wahyu dan menempatkan manusia sebagai subjek utama, bukan sebagai komoditas.
Hanya melalui tata kelola Islam yang memuliakan kehidupan, keamanan anak-anak kita dapat benar-benar terjamin. Sebab perlindungan nyawa dan kehormatan bukan urusan individu semata, melainkan kewajiban negara dan sistem yang menaunginya.
Wallahua'lam bis shawwab
