Lagi, kasus penculikan dan perdagangan anak kembali terjadi. Seorang balita perempuan berinisial BR (4) di Makassar, Sulawesi Selatan, dilaporkan hilang/diculik ketika sedang ikut ayahnya bermain tenis di Taman Pakui Sayang, Makassar. Setelah dilakukan pencarian selama sepekan dengan melibatkan berbagai pihak termasuk kepolisian, korban akhirnya ditemukan di Kabupaten Merangin Provinsi Jambi dan diadopsi oleh Suku Anak Dalam (SAD) Mentawak. Kini ia telah kembali kepada orangtuanya usai negosiasi bersama SAD dan disepakati tebusan Rp100 juta.
Ditemukannya BR sekaligus menguak jaringan TPPO atau perdagangan anak lintas provinsi bermodus adopsi. Berdasarkan hasil penyelidikan polisi, kasus tersebut melibatkan beberapa tersangka, dan BR telah dijual sebanyak 3 kali. Mulanya penculik SY menjual BR kepada sindikat NH seharga Rp3 juta. NH kemudian membawa BR dan menawarkannya kepada AS (35) dan MA (49) warga Bangko Kabupaten Merangin, Jambi, dengan harga Rp15 juta. Lalu AS dan MA menjual BR kepada warga Suku Anak Dalam di Jambi seharga Rp80 juta.
Menurut keterangan polisi, AS dan MA telah 9 kali menjual bayi dan anak satu kali lewat media sosial. Kini keempat pelaku telah diamankan polisi serta terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara. Polisi terus mengembangkan jaringannya untuk mengusut TPPO yang melibatkan anak di sejumlah wilayah di Indonesia, termasuk menindaklanjuti kembali kasusnya KA yang dilaporkan hilang di Jambi sejak 1 September 2022 di usia 3 tahun. (Kompas.id, 19/11/2025)
Tak hanya di Jambi, kasus serupa juga terjadi di beberapa wilayah di tanah air. Salah satunya di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, AKN (6) dinyatakan hilang dan belum ditemukan sejak Maret 2025. Untuk kasus ini Polisi telah membentuk tim gabungan, kini kasusnya masih dalam tahap penyelidikan sehingga belum ada kesimpulan apapun. (Kompastv, 14/11/2025)
Kejadian Berulang yang Tak Terselesaikan
Fakta di atas semakin menambah rentetan kasus perdagangan orang di negeri ini yang dari tahun ke tahun kerap terjadi seolah tak ada penyelesaian tuntas. Berdasarkan keterangan yang diwartakan laman databoks.co.id, (19/6/2025), sepanjang tahun 2020-2024 KemenPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak) mencatat ada sekitar 1.265 anak yang menjadi korban perdagangan. Sementara untuk kasus penculikan, perdagangan, dan penjualan bayi sepanjang periode 2021-2024 ada 155 kasus yang dicatat KPPI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia).
Kenyataan ini sungguh ironis. Perdagangan anak adalah kejahatan serius, selain melanggar hak asasi manusia juga bisa berdampak secara fisik maupun psikologis bagi korbannya. Anak yang diculik biasanya mendapatkan paksaan maupun kekerasan secara fisik dari si penculiknya, hingga berpengaruh pada mental serta psikologisnya. Akhirnya setelah besar si anak akan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan potensi mereka sebab mengalami trauma hebat semasa kecilnya, bahkan kehilangan nasabnya. Kondisi ini jelas bencana bagi Indonesia karena anak adalah aset dan ujung tombak masa depan bangsa.
Karenanya pemerintah harus bertindak tegas dan memprioritaskan penyelesaian kejahatan ini. Namun, tentunya tak cukup hanya dengan mengerahkan aparat kepolisian dan jaringannya saja. Karena hakikatnya tindak perdagangan anak adalah masalah sistemik yang muncul karena berbagai faktor, terutama kualitas sanksi yang masih lemah sehingga tidak bisa menghentikan tindak kejahatan. Seperti diketahui hukuman bagi pelaku TPPO yang tertuang dalam UU Nomor 21 Tahun 2007 sangatlah ringan, hanya kurungan penjara 3-15 tahun dan denda minimal 120 juta, maksimal 600 juta.
Di sisi lain, maraknya perdagangan anak juga dipicu oleh kemiskinan ekstrem dan kurangnya lapangan kerja. Kedua hal inilah yang mendorong seseorang berani berbuat nekat, hingga menerobos rambu-rambu agama demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Ini diperparah dengan berkembangnya kehidupan sekuler kapitalistik yang menjauhkan agama dari kehidupan dan hanya fokus mengutamakan materi. Penyebab lainnya adalah hadirnya media tanpa pengawasan sehingga dijadikan ajang melakukan beragam kejahatan.
Faktor-faktor ini tentu tidak muncul begitu saja, akan tetapi dampak dari sistem kapitalisme yang diterapkan. Kapitalisme adalah muara dari munculnya masalah TPPO, maupun kejahatan lainnya. Lemahnya sanksi bagi pelaku kejahatan akibat sistem pidana kapitalisme yang meniscayakan manusia sebagai pembuat hukum, sehingga hukuman tidak bersifat baku bisa berubah sebab manusia terbatas akalnya.
Begitu pun kemiskinan ekstrem, semua hasil dari arah politik ekonomi berbasis kapitalisme yang meniscayakan para kapital sebagai pemeran dan pengendali sektor ekonomi dari hulu hingga hilir di bawah payung undang-undang yang disahkan negara. Sedangkan negara hanya menjadi regulator dan fasilitator saja. Sehingga yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin, karena 94,8% persen kekayaan alam negeri ini dikuasai oleh oligarki, dan 10% orang terkaya di Indonesia menguasai 75,3% total kekayaan bangsa ini. Inilah yang akhirnya berimbas pada berbagai tindak kejahatan termasuk penjualan anak.
Islam Solusi Tuntas Masalah Perdagangan Orang
Sebagaimana agama sempurna, Islam diturunkan Allah sebagai solusi bagi seluruh masalah kehidupan. Di antara tujuan penetapan syariat Islam (maqasid syariah) adalah untuk menciptakan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia baik di dunia maupun di akhirat. Konsep ini bertujuan menjalankan pemeliharaan terhadap lima dasar seperti: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta manusia agar mendapatkan kebaikan dan terhindar dari kerusakan.
Agar maqasid syariah ini terealisasi dengan sempurna, maka Islam menetapkan agar negara: Pertama, berperan sebagai pelindung sepenuhnya bagi rakyat. Dimulai dari memelihara agama, dengan menanamkan pemahaman akidah Islam sejak dini kepada generasi, hingga terbentuk pola pikir dan pola sikap Islam dalam dirinya. Dengan begitu ketika beranjak dewasa generasi akan menjadi manusia bertakwa yang takut melakukan dosa.
Kedua, negara wajib menjamin kesejahteraan dan memenuhi semua kebutuhan dasar rakyatnya tanpa kecuali. Dalam hal ini negara akan melakukan pengelolaan SDA secara mandiri, sehingga akan tercipta lapangan kerja yang luas dan para kepala keluarga bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Hasil pengelolaan SDA ini juga akan dikembalikan negara berupa pemenuhan seluruh kebutuhan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara gratis.
Ketiga, negara wajib menerapkan sanksi yang tegas dan menjerakan bagi siapa saja yang mengganggu jiwa, kehormatan, keamanan, dan harta manusia. Dalam hal TPPO, karena termasuk kejahatan bersifat sosial dan merusak nasab manusia, maka sanksinya adalah ta’zir yang kadarnya telah ditetapkan negara. Sanksi ini akan dijatuhkan sesuai keterlibatan dan kejahatan yang mereka lakukan. Dalam Kitab Nizhamul Uqubat dijelaskan sanksi bagi orang yang membawa/melarikan orang lain dengan tipu muslihat/paksaan selama 3 hari tanpa disertai penyiksaan adalah penjara 5 tahun. Jika disertai penyiksaan maka 15 tahun penjara berikut jilid dan pengasingan.
Wallahu a'lam bis shawwab
