Bukan omon-omon lagi, redenominasi rupiah segera pecah telur. Lantaran RUU redenominasi rupiah sudah melenggang masuk ke Prolegnas. Tarik ulur kebijakan ini sudah berlangsung 15 tahun sejak direkomendasikan tahun 2010. Berdalih ekonomi nasional tak stabil dan inflasi tinggi, kebijakan ini sebelumnya selalu layu tak berkembang.
Kebijakan ini berpolemik. Bagi yang pro menganggap urgen untuk mengatasi nominal rupiah yang terlalu besar. Digit nol panjang pada uang merumitkan transaksi keuangan. Dengan redenominasi akan berefek pada simplifikasi transaksi keuangan. Diharapkan brand rupiah secara psikologi internasional akan kredibel. Pun rupiah sebagai garbage money (uang sampah) akan log out.
Tak hanya itu, redenominasi digadang-gadang dapat menjerat koruptor dan sindikat uang palsu. Para koruptor kerap menimbun uang dalam jumlah fantastis di brankas rumah. Dengan redenominasi membuat koruptor mati kutu untuk memberdayakan hasil tilepannya ke dalam sistem keuangan. Pun sama secara tak langsung peredaran uang palsu akan cut off. Karena uang palsu yang dicetak dan beredar tak bisa dipakai lagi oleh publik.
Sebaliknya bagi yang kontra menganggap redenominasi rupiah belum prioritas. Redenominasi hanyalah penyederhanaan jumlah digit rupiah tanpa mengurangi daya beli, harga atau nilai tukar terhadap barang dan jasa. Tak bisa menguatkan kurs rupiah. Wajar dikatakan redenominasi hanyalah symbolic policy (memoles moneter negara yang rapuh demi citra politik). Lebih baik budget belasan triliun dalam redenominasi (pencetakan uang baru, mengubah sistem dan aplikasi keuangan, serta edukasi publik) digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Dikhawatirkan juga adanya kebingungan dan kepanikan massal akibat minimnya literasi publik. Mengingat 90 % transaksi keuangan hari ini masih secara cash bukan digital. Kebingungan karena terjadi ilusi harga barang atau jasa yang lebih murah. Hal ini dapat menghipnotis publik lebih royal berbelanja. Impaknya terjadi kenaikan harga di pasaran secara signifikan. Kepanikan ditandai dengan aksi rush money. Impaknya terjadi krisis perbankan dan ketakstabilan ekonomi.
Lantas bagaimana menyikapi polemik ini secara bijak?
Inflasi Sistemik
Jumlah digit uang kertas menunjukkan kualitas nilai uang. Semakin banyak digit berarti semakin lemah nilai uang. Sebagai contoh, tahun 1946 uang Rp. 1 rupiah dapat membeli 0,5 gram emas. Tapi tahun 2025 (harga emas Rp. 2.400.000/gram) nominal uang paling tinggi Rp 100.000, hanya dapat membeli 0,041 gram emas. Krisis ekonomi dan inflasi pada negara yang menyebabkan penambahan digit uang seiring berjalannya waktu.
Turki kerap dijadikan contoh negara yang berhasil dalam redenominasi. Hiperinflasi memaksa Turki memangkas 6 digit nol lira tahun 2005. Memang diakui selama 1 dekade pasca redenominasi, Turki dapat menurunkan dan ‘menormalkan’ angka inflasi. Tapi dalam 1 dekade terakhir lira terus melemah secara drastis akibat inflasi tinggi. Tahun 2024 inflasi Turki tembus 49,4 %.
Pun sama dengan Argentina sudah melakukan 4 kali redenominasi (1970, 1983, 1985 dan 1992). Sampai tahun 2002, Argentina dapat menurunkan dan ‘menormalkan’ angka inflasi. Tapi dalam 1 dekade terakhir Argentina mengalami inflasi tinggi. Tahun 2024 inflasi Argentina meroket hingga 211 %.
Ini menunjukkan bahwa redenominasi hanya obat bius bagi inflasi. Tak bisa menahan laju inflasi secara persisten. Karena hakikatnya uang kertas lah yang membawa gen inflasi dan krisis ekonomi. Sistem uang kertas berbasis kepercayaan atau legalitas pemerintah/otoritas moneter negara. Nominal uang tak didukung nilai intrinsik. Biaya mencetak uang Rp 1000 sama dengan uang Rp 100.000. Pemerintah atau otoritas moneter yang mencetak uang mendapat keuntungan dari perbedaan nilai intrinsik dan nominal uang (seignorage). Semakin tinggi nominal uang kertas, keuntungan semakin besar. Mudahnya membuat uang kertas membuka peluang mencetak sebanyak mungkin melebihi penerimaan anggaran. Semakin banyak uang beredar, permintaan barang jasa meningkat. Terjadi kenaikan harga barang jasa. Nilai tukar uang pun mengalami penurunan. Akhirnya inflasi.
Tak adanya nilai intrinsik pada uang kertas, menjadikan uang dalam sistem kapitalisme hari ini tak hanya sebagai alat tukar tapi juga alat produksi (uang menghasilkan uang). Mesin produksinya berupa perbankan (instrumen bunga) dan pasar modal (instrumen saham) yang spekulatif. Kedua mesin produksi ini berkutat pada riba.
Keberadaan suku bunga merusak kemampuan beli barang dan jasa. Menyulitkan akses barang dan jasa. Dapat dikatakan suku bunga memiliki hubungan linear dengan inflasi. Semakin tinggi suku bunga bank, semakin tinggi inflasi.
Transaksi uang di pasar modal melebihi transaksi di sektor riil (barang dan jasa). Data dari BI (2009), volume transaksi di pasar uang dunia mencapai US$ 1,5 triliun dalam sehari, sedangkan volume transaksi perdagangan dunia di sektor riil hanya US$ 6 triliun dalam setahun. Tahun 2016, volume transaksi di pasar uang dunia mencapai US$ 5.1 triliun dalam sehari, sedangkan volume transaksi perdagangan dunia di sektor riil hanya US$ 21 triliun dalam setahun (www.frindosonfinance.com, 28 September 2017). Terjadi ketakseimbangan antara transaksi uang dengan transaksi barang jasa. Kepastian hal ini menyebabkan inflasi.
Jelaslah, redenominasi hanya mengatasi dampak dari inflasi, bukan akar masalah inflasi. Butuh solusi fundamental terkait kebijakan moneter yang dapat mematikan inflasi. Apakah solusinya?
Islam Jamin Kestabilan Mata Uang
Zero inflation hanya berlaku pada emas dan perak sebagai alat tukar. Hal tersebut tak terbantahkan. Harga seekor kambing zaman Rasulullah SAW 1 sampai 2 dinar setara dengan harga kambing di pasaran sekarang. Profesor Roy Jastram dari Berkeley University AS dalam bukunya The Golden Constant telah membuktikan sifat emas yang tahan inflasi. Menurut penelitiannya, harga emas terhadap beberapa komoditi dalam jangka waktu 400 tahun hingga tahun 1976 adalah konstan dan stabil.
Rasulullah SAW dalam kepemimpinannya di Madinah mengadopsi emas dan perak sebagai mata uang negara sesuai dengan perintah Allah SWT. Karena hukum dalam Al Quran dan hadits tentang uang selalu dikaitkan dengan emas dan perak. Firman Allah SWT:
وَالَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُوْنَهَا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِۙ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍۙ ٣٤
Artinya: Orang-orang yang menyimpan emas dan perak, tetapi tidak menginfakkannya di jalan Allah, berikanlah kabar ‘gembira’ kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih (QS. at Taubah ayat 34).
Rasulullah SAW bersabda:
بِيْعُوْا الذَّهَبَ بِالْفِضَّةِ والْفِضَّةُ بِالذَّهَبِ كَيْفَ شِئْتُمْ
Artinya: Jual belilah kalian emas dengan perak, perak dengan emas, sesuka kalian (HR al Bukhari)
Hadis Rasulullah SAW terkait nishab zakat, nishab pencurian yang di potong tangan, diyat, pertukaran uang (ash sharfu) semakin menegaskan kewajiban penggunaan emas dan perak sebagai mata uang. Boleh bagi negara menerbitkan uang substitusi emas dan perak (berupa uang kertas, perunggu, tembaga atau benda lainnya) dengan persyaratan tertentu. Yaitu uang substitusi dijamin penuh oleh emas dan perak.
Nominal mata uang emas dan perak ditentukan oleh nilai intrinsik. Kondisi tersebut membuat negara tak bebas memproduksi uang yang beredar. Negara hanya dapat menambah jumlah uang sesuai dengan peningkatan kepemilikan cadangan emas dan perak. Faktor inilah yang menjadikan emas dan perak memiliki keunggulan dalam menjamin kestabilan finansial. Masalah-masalah finansial seperti inflasi dan rendahnya daya beli masyarakat dapat dihindarkan.
Keunggulan emas dan perak sebagai mata uang hanya terwujud dengan pengintegralan penerapan syari’at Islam di bidang lainnya oleh negara. Artinya syari’at Islam kaffah mutlak diterapkan, sebagaimana diteladankan oleh Rasulullah SAW dalam kehidupan negara Islam di Madinah.
Wallahu a’lam bis shawwab
