Kazakhstan merupakan negara terbesar kesembilan di dunia dan terbesar kedua di antara bekas negara Soviet. Negara ini adalah republik konstitusional yang merdeka dari Uni Soviet pada tahun 1991, memiliki sumber daya mineral dan energi yang melimpah, serta sejarah nomaden yang panjang. Bahasa resminya adalah Kazakhstan dan Rusia, penganut agama mayoritas Islam.
Namun sangat disayangkan dengan deklarasi yang disampaikan, bahwa Kazakhstan akan bergabung dengan Abraham Accords untuk memperkuat hubungan dengan entitas kriminal Zionis [Israel]. Hal tersebut diumumkan secara resmi oleh Presiden AS Donald Trump, bahwa Kazakhstan akan bergabung dengan negara-negara yang telah menormalisasi hubungan dengan Israel. Dalam pernyataannya yang dirilis pada Jumat (7/11), Hamas mengecam hal tersebut merupakan langkah tidak bisa diterima dan memalukan, kelompok perlawanan Palestina itu menyebut langkah Kazakhstan itu sebagai pembenaran atas tindakan Israel yang telah menewaskan lebih dari 68.800 warga Palestina sejak 7 Oktober 2023. (08/11/2025)
Di sisi lain Turki yang sama-sama mayoritas muslim, memilih mengumumkan surat perintah penangkapan terhadap PM Israel Benjamin Netanyahu dan beberapa pejabat Israel. Karena telah melakukan genosida dan kejahatan kemanusiaan terkait konflik di Gaza, yang telah menewaskan ratusan jiwa, penghancuran peralatan medis dan fasilitas yang membantu warga Gaza. Tentunya surat perintah penangkapan belumlah cukup untuk mengakhiri genosida yang ada, rakyat Gaza butuh bantuan yang nyata bukan hanya sekedar retorika tapi butuh militer yang mampu mengusir Zionis dari tanah Palestina.
Ditambah dengan beberapa negara lainnya yang mengambil langkah normalisasi hubungan dengan Israel, terbaru Kazakhstan bergabung dalam Abraham Accords. Sungguh ini sangat memprihatinkan dan membuat sedih kaum muslim terutama di Gaza sendiri, saudara seimannya bisa bersekutu dengan penghancur kemanusiaan.
Selama ini normalisasi hubungan antara beberapa negara Arab dan Israel, kerap dibungkus dengan narasi perdamaian, stabilitas kawasan, serta kerja sama ekonomi. Namun faktanya dibalik retorika diplomatik tersebut tersimpan agenda geopolitik. Adanya upaya Amerika Serikat (AS) dan sekutunya untuk melegalkan penjajahan zionis atas Palestina khususnya Gaza.
Kecaman Tanpa Tindakan: Diplomasi Kosong yang Menipu Umat
Dari Ankara hingga Riyadh, dari Kairo hingga Jakarta, para pemimpin Muslim hanya berlomba mengeluarkan pernyataan keprihatinan dan kecaman. Mereka menyeru “gencatan senjata” dan “bantuan kemanusiaan”, tetapi tidak ada satu pun yang berani memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel, apalagi mengerahkan kekuatan militer untuk membela rakyat Gaza. Termasuk Turki yang hanya mengecam, namun masih mempertahankan hubungan dagang, perekonomian, bahkan militer dengan Israel. Ironisnya, perdagangan bilateral antara kedua negara justru meningkat di tengah agresi ke Gaza. Inilah bukti bahwa kecaman itu hanya retorika politik, bukan wujud keberpihakan sejati terhadap umat Islam di Palestina.
Ketundukan pada Hegemoni Barat
Selama arah kebijakan dunia Islam terhadap Palestina masih bergantung pada restu Barat dan terjebak dalam sempitnya ide nasionalisme, maka penjajahan Zionis atas tanah suci itu akan terus berlanjut tanpa akhir.
Sejak runtuhnya Khilafah Islam dan munculnya negara-negara bangsa (nation-states), banyak negara Muslim kehilangan kemandirian politik dan bergantung pada patronase Barat. Keputusan politik terkait Palestina sering kali disesuaikan dengan kepentingan AS dan Eropa.
Keterkungkungan umat Islam dalam ide nasionalisme adalah perangkap besar yang diwariskan penjajah. Ide ini memecah umat menjadi puluhan negara dengan batas-batas buatan manusia (nasionalisme), seolah Palestina hanya urusan “orang Palestina”, bukan urusan seluruh kaum Muslimin.
Bukankah Rasulullah saw. telah menyampaikan dalam (HR.Muslim) "Bahwa seorang Muslim dengan Muslim lainnya bagaikan satu tubuh; bila satu anggota sakit, maka seluruh tubuh turut merasakan demam dan tidak bisa tidur.”
Namun apa yang disampaikan Rasulullah saw. telah hilang dari hati penguasa muslim, nasionalisme telah menggerogoti semangat ukhuwah Islamiyah. Para penguasa lebih sibuk menjaga kedaulatan nasionalisme nya masing-masing daripada menunaikan kewajiban membela tanah umat yang dijajah. Bahkan, ada yang beralasan bahwa mengirim pasukan ke Gaza “melanggar hukum internasional”, seolah hukum buatan Barat lebih suci daripada perintah Allah untuk menolong sesama muslim.
Solusi Tuntas Persoalan Gaza dengan Jihad dalam sistem Islam
Palestina bukan semata persoalan kemanusiaan, tetapi persoalan agama. Berdasarkan ajaran Islam siapapun yang memerangi kaum muslim dan mengusir kaum muslim dari tanah-tanah mereka. Allah Swt. secara nyata menegaskan untuk memerangi begitupun dengan para pendukung nya. Allah Swt. berfirman (yang artinya): "Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian" (TQS al-Baqarah: 190).
Allah Swt. juga berfirman yang artinya: "Bunuhlah mereka di mana saja kalian jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian" (TQS al-Baqarah: 191).
Jangan biarkan ayat-ayat Allah distigma negatif, Allah memerintahkan agar manusia memiliki marwah (kehormatan), tidak hanya diam saja atau jadi penonton ketika ada saudara muslim lainnya di zalimi. Lihatlah kondisi Palestina dan saudara-saudara muslim lainnya dengan kacamata iman, khususnya bagi penguasa-penguasa muslim hingga tergeraklah hatinya untuk menyudahi derita tersebut.
Umat Islam (penguasa muslim) di dalam sistem pemerintahan Islam (khilafah) memiliki tanggung jawab terhadap Palestina hingga negeri tersebut dibebaskan dengan jihad yang akan dikomando khalifah. Khalifah mampu menjadi perisai hakiki umat sebagaimana dahulu Palestina berada di bawah naungan kekuasaan Islam.
Barat dan sekutunya paham betul kekuatan sejati umat Islam ini adalah kembalinya sistem Islam. Netanyahu menyatakan, “Kami mengenal musuh kami dengan baik dan tidak akan menerima keberadaan Khilafah di sini atau di Libanon. Dan kami berupaya untuk memastikan kelangsungan hidup (Israel).” Menolak sistem Islam sejatinya menggambarkan ketakutan akan kekuatan umat Islam yang mulai terbentuk kesadarannya dengan menyerukan jihad dan tegaknya negara Islam sebagai solusi di tingkat global.
Khilafah adalah ajaran Allah dan bisyarah Rasulullah yang pasti akan terwujud. Musuh Allah pasti menghalangi tegaknya khilafah. Begitu juga penguasa muslim pengkhianat akan mendukung mereka karena kecintaan mereka pada kekuasaan dan dunia.
Kebutuhan akan jihad dan Khilafah sebagai solusi paripurna bagi Palestina semakin mendesak dan nyata. Kewajiban kita dalam upaya membebaskan Palestina dari penjajahan dan penderitaan adalah dengan terus menyuarakan solusi paripurna ini. Dakwah yang berpengaruh harus terus diperjuangkan agar mampu mengubah pemikiran serta membersihkan pemahaman umat dari ideologi sekuler kapitalisme hingga terbentuk pemahaman Islam yang benar dan kaffah.
Tegaknya negara Islam harus dipahami umat sebagai satu-satunya jalan mengembalikan kekuatan, persatuan, dan kekuasaan Islam yang membutuhkan penerapan syariat Islam kaffah. Upaya berkelanjutan melalui pembinaan intensif secara personal dan komunal yang dilakukan kelompok dakwah yang lurus, dan ideologis merupakan hal yang dibutuhkan saat ini agar umat memiliki pemahaman yang sama, bahwa solusi hakiki dan nyata bagi Palestina adalah jihad dan Khilafah.
Wallahua'alam bis shawwab
