Tragedi Irene Sokoy: Potret Buram Pelayanan Kesehatan dan Tanggung Jawab Negara yang Terabaikan

Oleh Hanin Mazaya
Selasa, 25 November 2025 - 17.35
Tragedi Irene Sokoy: Potret Buram Pelayanan Kesehatan dan Tanggung Jawab Negara yang Terabaikan
Tragedi Irene Sokoy: Potret Buram Pelayanan Kesehatan dan Tanggung Jawab Negara yang Terabaikan

Tragedi meninggalnya Irene Sokoy dan bayi dalam kandungannya setelah diduga ditolak oleh empat rumah sakit di Jayapura pada Minggu, 16 November 2025, kembali mengoyak nurani publik. Peristiwa ini bukan sekadar insiden medis, tetapi simbol dari kegagalan sistem yang seharusnya menjamin keselamatan setiap warga, khususnya ibu hamil yang berada dalam kondisi darurat. Di tengah situasi gawat seperti itu, waktu adalah segalanya. Namun waktu justru terbuang karena lambatnya layanan, buruknya koordinasi, dan kakunya birokrasi.

 

Kronologi Pahit yang Menguak Banyak Pertanyaan
Awalnya, Irene dibawa ke RSUD Yowari setelah merasakan kontraksi hebat. Kondisinya darurat dan membutuhkan tindakan cepat. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Proses rujukan memakan waktu berjam-jam, dokter tidak tersedia, dan ambulans baru datang tengah malam. Bukannya mendapat penanganan, Irene dan keluarganya justru terjebak dalam lingkaran administrasi yang tidak berpihak pada keselamatan pasien. Ketika mereka mencari alternatif rumah sakit lain, penolakan demi penolakan kembali mereka terima: ada yang menolak karena ruang penuh, ada yang mendalilkan keterbatasan fasilitas, ada pula yang meminta uang muka jutaan rupiah sebelum layanan diberikan. Semua penundaan itu berakhir tragis: Irene dan bayinya meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit berikutnya.

 

Kasus Serupa yang Terus Berulang
Publik semakin prihatin karna kenyataannya kasus Irene bukanlah satu-satunya. Menilik beberapa tahun terakhir, berita tentang ibu hamil yang ditolak rumah sakit terus berulang di berbagai daerah. Ada yang meninggal karena ruang kelas BPJS penuh, ada yang gagal mendapat layanan hanya karena rujukan dianggap tidak sesuai prosedur, bahkan ada yang melahirkan di halaman rumah sakit karena tidak diizinkan masuk.

Setiap kali kasus mencuat, reaksi pemerintah hampir selalu sama: pernyataan maaf, janji investigasi, dan audit rumah sakit. Namun setelah itu, semuanya kembali berjalan seperti biasa, seakan tragedi yang terjadi hanyalah statistik belaka.

 

Bobroknya Sistem Pelayanan Kesehatan
Rentetan kasus penolakan pasien darurat, terutama ibu hamil, mengindikasikan bahwa masalahnya bukan sekadar kelalaian oknum. Ini adalah bukti nyata bobroknya sistem pelayanan kesehatan kita.

Ketergantungan berlebihan pada administrasi, minimnya kesiapan fasilitas, tidak meratanya tenaga medis, serta buruknya sistem komunikasi antar rumah sakit menciptakan rantai masalah yang berdampak langsung pada keselamatan pasien. Dalam kasus Irene, setiap tautan rantai itu gagal sekaligus, menyebabkan nyawa seorang ibu dan bayi melayang sia-sia. Sistem yang seharusnya melindungi masyarakat justru menjadi sumber malapetaka.

 

Ketika Motif Bisnis Mengalahkan Kemanusiaan
Sebagian besar akar persoalan ini bermuara pada paradigma sistem kesehatan yang dibangun di atas landasan sekuler-kapitalistik. Rumah sakit yang semestinya menjadi benteng pelayanan publik berubah menjadi entitas bisnis yang mengejar keuntungan. Hal ini tampak dari permintaan uang muka yang besar, penolakan pasien BPJS karena kelas penuh, serta prioritas layanan berdasarkan kemampuan membayar. Ketika kesehatan dijadikan komoditas, maka nyawa manusia kehilangan nilai intrinsiknya. Penanganan ibu hamil darurat pun dapat terhambat hanya karena pertimbangan untung-rugi, dan tragedi seperti yang dialami Irene menjadi mudah terjadi.

 

Tanggung Jawab Negara yang Tidak Boleh Diabaikan
Pelayanan kesehatan adalah tanggung jawab fundamental negara. Ketika negara gagal memastikan akses layanan kesehatan yang mudah, cepat, gratis, dan berkualitas bagi seluruh rakyat, maka yang terjadi adalah bentuk kezaliman struktural. Kesehatan bukan fasilitas komersial, melainkan hak asasi warga negara yang wajib dipenuhi dan dilindungi. Negara tidak boleh membiarkan rumah sakit menetapkan aturan yang menghambat keselamatan pasien, apalagi dalam kondisi darurat. Keterlambatan layanan, syarat administrasi yang memberatkan, dan permintaan pembayaran di depan adalah praktik yang seharusnya tidak lagi terjadi dalam sistem kesehatan modern yang mengklaim diri berpihak pada rakyat.

 

Pelajaran dari Sejarah Peradaban Islam
Jika kita melihat kembali sejarah peradaban Islam, pelayanan kesehatan bukan hanya menjadi prioritas negara, tetapi juga dijalankan dengan prinsip kemanusiaan yang kuat. Rumah sakit dibangun melalui dukungan negara dan wakaf masyarakat, dengan layanan gratis untuk semua rakyat tanpa memandang status sosial. Dokter, perawat, dan pengelola rumah sakit bekerja berdasarkan amanah, bukan komersialisme. Keselamatan nyawa ditempatkan di atas segalanya, sehingga sistem kesehatan dapat berjalan stabil dan manusiawi selama berabad-abad. Prinsip tersebut memberikan inspirasi bahwa sistem pelayanan kesehatan yang bermartabat dan berpihak pada rakyat bukan hanya mungkin, tetapi pernah terjadi dan dapat diwujudkan kembali melalui kebijakan negara yang tepat.

Tragedi Irene harus menjadi alarm keras bagi pemerintah untuk melakukan reformasi menyeluruh. Tidak cukup hanya dengan audit dan permintaan maaf. Negara harus memperbaiki tata kelola rumah sakit, memperkuat sistem rujukan maternal, menambah tenaga medis yang kompeten, dan memastikan tidak ada satu pun rumah sakit yang berani menolak pasien gawat darurat. Pendanaan kesehatan publik pun harus diperkuat agar rumah sakit tidak terjebak pada orientasi komersial yang mengabaikan kemanusiaan. Keselamatan ibu dan bayi harus menjadi prioritas nasional.

 

Agar Tragedi Ini Tidak Terulang
Kematian Irene Sokoy dan bayinya adalah tragedi yang tidak seharusnya terjadi. Namun tragedi ini dapat menjadi momentum perubahan, jika negara bersedia memperbaiki akar persoalan dan menghapus pola penolakan pasien yang telah berulang-ulang terjadi. Setiap warga berhak mendapat pelayanan kesehatan tanpa syarat, tanpa rintangan birokrasi, dan tanpa diskriminasi ekonomi.

Keselamatan rakyat tidak boleh menjadi korban sistem yang tak layak. Karena pada akhirnya, pelayanan kesehatan bukanlah bisnis, tetapi amanah negara yang harus ditunaikan demi menjaga jiwa manusia.

Editor: Hanin Mazaya

Opini